Pada kesempatan artikel ini tanpa melihat subtansi, apa yang diberdebatkan dan ditolak oleh LKAAM Sumatra Barat terhadap Rancangan Undang-Undang tentang pemerintahan desa yang dibahas DPR RI disenayan saat itu, melalui tulisan ini dicoba memberikan pencerdasan kepada masyarakat Sumatra Barat untuk menggali potensi dan keuntungan lain dari RUU tersebut, terhadap masyarakat Sumatra Barat, apabila implementasi RUU tentang Pemerintah desa ini diterapkan dan dipakai dalam sistem Pemerintahaan Nagari yang hari ini kita pakai di Sumatra Barat.
Tulisan ini hanya fokus pada pembahasan dan penjabaran tentang Pemerintahaan Nagari secara kepemerintahaan formal yang mengatur pemerintahan terendah di Republik Indoneisa, bukan membahas Nagari secara sistem hukum adat Minangkabau seperti nenek moyang dulu. Artinya pemeritahan nagari yang dimaksut adalah pemerintahaan nagari yang dilihat dari sudut pandang kesejahteraan kepelosok terpencil nagari, kemudahaan pelayanan terhadap masyarakat, serta dampak percepatan pembangunan di nagari sendiri.
Jika dilihat dari muatan isi materi RUU Pemerintahan Desa tersebut, dapat digambar di dalamnya ada pasal yang mengatur masalah pembentukan desa/nama lain, pengabungan desa/nama lain, pemekaran desa/nama lain, penghapusan desa/nama lain, serta perubahan status desa/nama lain. Sehingga, dapat dicermati secara mendalam bahwa dalam RUU tersebut sangat besar peluang adanya perubahaan tatanan pemerintahaan terendah pasca ditetapkannya.
Pada salah satu pasal dalam rancangan pemerintahaan desa/nama lain tersebut seperti syarat pembentukan, pemekaran, penggabungan desa baru/nama lain dengan jumlah sedikit 3000 jiwa/penduduk atau 750 kepala keluarga untuk daerah sumatera, maka semuanya bisa dilakukan, itupun direalisasikan melalui penetapan dan keputusan Peraturan daerah (PERDA) kabupaten/kota. maka realisasi pemekaran nagari bisa dilakukan secara menyeluruh di Sumatra Barat.
Apabila dilihat fenomena selama ini, perjalan pemerintahaan terendah Provinsi Sumatra Barat telah terjadi pengubahan dan penggantian sesuai dengan masanya. Ini sesuai filosifi orang minangkabau mengatakan bahwa sakali aie gadang, sakali tapian barubah. Artinya, di tingkat pemerintahan terendah di Sumbar juga pernah mengalami pengubahan yang mendasar dengan alasan yang kuat dengan perdebatkan akademis yang ilmiah.
Seperti, sebelum tahun 1981 pemerintahaan terendah di Sumbar adalah pemerintahan nagari, setelah tahun 1981 sampai tahun 1999 pemerintahaan terendah menjadi desa. Namun, pasca reformasi dengan dilahirkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, pada waktu itu titik beratnya adalah terbentuknya daerah secara disentralisasi. Maka, peluang ini dijadikan momentum untuk oleh tokoh-tokoh Sumbar kembali ke sistem pemerintahan nagari melalui Perda Provinsi Sumatra Barat Nomor 9 tahun 2000 dan akhirnya direvisi melalui Perda nomor 2 tahun 2007 tentang Pokok Pemerintahaan Nagari.
Maka melihat fenomena di atas perobahaan itu bisa terjadi, secara kemasyarakat tidak ada masalah, semuanya berjalan dengan lancar, sesuai dengan target-target yang diinginkan (baca; keuntungan berdesa), sehingga apabila pembentukan, pemekaran, penghapusan, penggabungan pemerintah nagari beradasarkan dan berlandaskan akan pembangunan, ekonomi, pelayanan publik secara optimal dan kesejahteraan untuk masyarakat, maka Pemprov Sumbar bisa dan sangat lah perlu melakukan pemekaran pemerintahaan terendah secara menyeluruh di setiap kota dan kabupaten.
Peluang pemekaran ini sangat memungkinkan sekali, karena beberapa daerah sudah terlebih dahulu melakukan pemekaran seperti di Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Padang pariaman. Pemekaran yang dilakukan oleh dua kabupaten tersebut merupakan aspirasi masyarakat dan keputusan bersama di daeranya.
Mengutip dari tulisan Rusdi Lubis (pamong senior) di Koran Singgalang Senin, 26 Maret 2012 dengan judul “Pemekaran Nagari Apakah Sudah Diperlukan?”, di sana dengan rinci menjelaskan bahwa sepanjang semua elemen masyarakat (ninik mamak, alim ulama dan cadiak padai) setuju dan tidak ada konflik di tengah masyarakat nagari maka pemekaran itu bisa saja dilakukan.
Barangkali ada yang setuju dengan ungkapan Rusdi Lubis diatas, kata kunci adalah asal semua elemen masyarakat nagari setuju, maka tidak menjadi masalah pemekaran nagari itu dilakukan. Ini juga sesuai dengan filosofi minang abih adai dek Baka gilaan, artinya kalau semuanya elemen masyarakat suka, setuju, sepakat maka semuanya bisa dirobah. Yang tidak bisa dirobah itu di minangkabau adalah adat basandi syarah, syarak basandi kita bullah/ al quraan dan hadist.
Sekarang tinggal Pemprov Sumbar mencoba melakukan terobosan dengan melakukan perencanaan matang untuk memekarkan pemerintah nagari tersebut. Tentu, dengan memekarkan pemerintahaan nagari ini tidak merugikan tatanan nagari yang kita punya secara cultural dan sistem hukum adat. Tatanan adat Minangkabau di tengah nagari jangan dirusak dan dihapus, seperti tatanan mengenai sako (gelar adat), mengenai pusako (harta warisan garis ibu), tatanan peran ninik mamak terhadap ritual adat miangkabau, fungsi kerapan adat nagari tidak berubah, serta prinsip-prinsip “adat salingka nagari” tetap dipertahaankan .
Apabila semua itu bisa diwujudkan, maka pemekaran nagari bisa dilakukan. Sehingga, tujuan dari UU Pemerintahan Desa yang akan disahkan nanti bisa terimplementasi secara murni di tengah masyarakat Sumatra Barat. Di antaranya mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat, mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik, meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan dan daya saing desa dengan baik.
Penutup dari tulisan ini, ada himbauan kepada elemen masyarakat Sumbar, seperti ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai. Mari sama-sama memekarkan pemerintahan nagari demi kesejahteran dan pelayanan masyarakat yang baik dan mari di jaga tatanan kultural adat Minangkabau yang telah tertanam berabad-abad. Demi menjaga dan mengokohkan adat basandi syarak, syarak basandi kita bullah. (*)
tulisan Yohanes Wempi di sumber
+ komentar + 3 komentar
Analisis pemekaran desa hanya di lihat dari sisi keuntungan materialis dan administratif saja, tapi tidak mencoba menganalisis secara budaya minang yg lebih mendalam.
misalnya : bagaimana dengan posisi dan tugas Penghulu ?, apa kaitan ka 4 suku ??? bagaimana dengan ulayat dan pusako (aturan tanah, aturan air , dll ) ??? juga bagaimana dengan silsilah keturunan yang pasti melekat pada nagari induk ???
pemekaran mnagari hanya akan membuat sangketa pertanahan juga soko jo Pusako yang lain akan semakin runyam yang mengakibatkan individualis berkembang di ranah Bundo ini
Analisis pemekaran desa hanya di lihat dari sisi keuntungan materialis dan administratif saja, tapi tidak mencoba menganalisis secara budaya minang yg lebih mendalam.
misalnya : bagaimana dengan posisi dan tugas Penghulu ?, apa kaitan ka 4 suku ??? bagaimana dengan ulayat dan pusako (aturan tanah, aturan air , dll ) ??? juga bagaimana dengan silsilah keturunan yang pasti melekat pada nagari induk ???
pemekaran mnagari hanya akan membuat sangketa pertanahan juga soko jo Pusako yang lain akan semakin runyam yang mengakibatkan individualis berkembang di ranah Bundo ini
Analisis pemekaran desa hanya di lihat dari sisi keuntungan materialis dan administratif saja, tapi tidak mencoba menganalisis secara budaya minang yg lebih mendalam.
misalnya : bagaimana dengan posisi dan tugas Penghulu ?, apa kaitan ka 4 suku ??? bagaimana dengan ulayat dan pusako (aturan tanah, aturan air , dll ) ??? juga bagaimana dengan silsilah keturunan yang pasti melekat pada nagari induk ???
pemekaran mnagari hanya akan membuat sangketa pertanahan juga soko jo Pusako yang lain akan semakin runyam yang mengakibatkan individualis berkembang di ranah Bundo ini
Posting Komentar