Istilah Minangkabau adalah sebuah istilah untuk etnis yang berasal dari daerah Sumatera Barat. Selain sebagai etnik, istilah Minangkabau juga biasa digunakan untuk teritorial tertentu bekas daerah kekeuasaan kerajaan Pagaruyung. Namun sekarang, istilah Minangkabau lebih populer sebagai sebuah kebudayaan. Terlepas dari penggunaan istilah ini, ada pertanyaan terkait asal-muasal istilah ini. Sebagaimana di kutip dari situs minangforum(dot)com, paling tidak ada beberapa pendapat terkait sejarah asal nama Minangkabau.
Menurut Prof. Dr. RM. NG. Poerbacaraka. Pendapatnya dikemukakan dalam sebuah karangan yang berjudul “Riwayat Indonesia”. Dalam tulisan mengenai nama Minangkabau dikaitkan dengan prasasti yang terdapat di Palembang, yaitu prasasti Kedudukan Bukit. Prasasti ini memuat 10 baris kalimat yang berangka tahun 605 Caka (Syaka) atau 683 M. Batu bertulis ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai berikut : ( a. Selamat Tahun Syaka telah berjalan 605 tanggal 11 b. Paro terang bulan waisyakha yang dipertuan yang naik di c. Perahu mengambil perjalanan suci pada tanggal 7 paro terang d. Bulan Jyestha yang dipertuan hyang berangkat dari Minanga. e. Tamwan membawa bala tentara dua puluh ribu dengan peti. f. dua ratus sepuluh dua banyaknya g. dua ratus berjalan di perahu dengan jalan darat seribu h. tiga ratus sepuluh dua banyaknya datang di mata Yap. i. Bersuka cita pada tanggal lima bulan… j. dengan mudah dan senang membuat kota.. k. syri wijaya menang karena perjalanan suci).
Prof. Dr. Muhammad Husein Nainar. Menurut keterangannya Guru Besar pada Universitas Madras ini, sebutan Minangkabau berasal dari “Menonkhabu” yang artinya “tanah pangkal” atau “tanah permai” Prof. Vander Tuuk mengatakan bahwa Minangkabau asalnya dari kata “Pinang Khabu” yang artinya tanah asal Sultan Muhammad Zein mengatakan bahwa Minangkabau berasal dari “Binanga Kanvar” yang artinya Muara Kampar. Keterangan ini bertambah kuat oleh karena Chau Yu Kua yang dalam abad ke 13 pernah datang berkunjung ke Muara Kampar menerangkan, bahwa di sana didapatinya satu-satu bandar yang paling ramai di pusat Sumatera.
Kesimpulan dari isi prasasti ini adalah Yang Dipertuan Hyang berangkat dari Minanga Tamwan naik perahu membawa bala tentara. Sebagian melalui jalur darat. Menurut Poerbacaraka kata tamwan pada prasasti itu sama dengan bahasa Jawa Kuno yaitu “Temwan”, bahasa Jawa sekarang Temon dan Bahasa Indonesianya pertemuan. Pertemuan di sini yaitu pertemuan dua buah sungai yang sama besarnya. Sungai yang dimaksudkan ialah Sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Besar kemungkinan dari orang kemudian dinamakan “Minangakanwa”, yang lama kelamaan diucapkan Minangkabau. Juga dikemukakan, bahwa dekatnya pertemuan Kampar Kiri dan Kampar Kanan inilah terletak pusat agama Budha Mahayana, yaitu Muara Takus.
M. Said bertitik tolak dari prasasti Padang Roco Tahun 1286 di dekat Sungai Langsat di hulu Sungai Batang Hari. Pada prasasti ini ditemui kata-kata Swarna Bhumi dan Bhumi Melayu. Tidak satupun dari prasasti-prasasti yang ditemui yang berisikan kata-kata Minangkabau. Sedangkan tempat prasasti ditemui termasuk daerah Minangkabau sekarang. Oleh sebab itu, M. Said berkeyakinan bahwa ketika ekspedisi Pamalayu,
nama Minangkabau belum ada. Menurut penelitian ahli sejarah seperti M. Yamin dan CC Berg, ekspedisi Pamalayu bukanlah agresi Militer, melainkan muhibah diplomatik dalam usaha mengadakan aliansi untuk menghadapi serangan Khubilai Khan. Itulah sebabnya prasasti Padang Roco isinya juga menunjukkan kegembiraan. Tidak mustahil antara pihak tamu dengan tuan rumah diadakan pesta untuk menyenangkan hati kedua belah pihak. Pada peristiwa inilah salah satu acaranya diadakan arena pertarungan kerbau antara kerbau tuan rumah dengan pihak tamu. Rupanya kemenangan berada di pihak tuan rumah. Suatu pertanyaan timbul, apakah cerita mengenai perlagaan kerbau yang kebanyakan dianggap dongeng tidak mempunyai
hubungan dengan kedatangan misi Pamalayu ini. Menurut ukuran sekarang terlalu kecil peristiwa pertarungan kerbau ini untuk menguji kalah menang yang mempertaruhkan peristiwa dan status negara. Tetapi dari peristiwa ini nama Minangkabau lahir bukan mustahil.
nama Minangkabau belum ada. Menurut penelitian ahli sejarah seperti M. Yamin dan CC Berg, ekspedisi Pamalayu bukanlah agresi Militer, melainkan muhibah diplomatik dalam usaha mengadakan aliansi untuk menghadapi serangan Khubilai Khan. Itulah sebabnya prasasti Padang Roco isinya juga menunjukkan kegembiraan. Tidak mustahil antara pihak tamu dengan tuan rumah diadakan pesta untuk menyenangkan hati kedua belah pihak. Pada peristiwa inilah salah satu acaranya diadakan arena pertarungan kerbau antara kerbau tuan rumah dengan pihak tamu. Rupanya kemenangan berada di pihak tuan rumah. Suatu pertanyaan timbul, apakah cerita mengenai perlagaan kerbau yang kebanyakan dianggap dongeng tidak mempunyai
hubungan dengan kedatangan misi Pamalayu ini. Menurut ukuran sekarang terlalu kecil peristiwa pertarungan kerbau ini untuk menguji kalah menang yang mempertaruhkan peristiwa dan status negara. Tetapi dari peristiwa ini nama Minangkabau lahir bukan mustahil.
Prof. Dr. Muhammad Husein Nainar. Menurut keterangannya Guru Besar pada Universitas Madras ini, sebutan Minangkabau berasal dari “Menonkhabu” yang artinya “tanah pangkal” atau “tanah permai” Prof. Vander Tuuk mengatakan bahwa Minangkabau asalnya dari kata “Pinang Khabu” yang artinya tanah asal Sultan Muhammad Zein mengatakan bahwa Minangkabau berasal dari “Binanga Kanvar” yang artinya Muara Kampar. Keterangan ini bertambah kuat oleh karena Chau Yu Kua yang dalam abad ke 13 pernah datang berkunjung ke Muara Kampar menerangkan, bahwa di sana didapatinya satu-satu bandar yang paling ramai di pusat Sumatera.
Pendapat Tambo. Dari beberapa tambo seperti Tambo Pariangan dan Tambo Sawah Tangah, pada dasarnya mempunyai kesamaan lahirnya nama Minangkabau. Salah satu diantaranya transkripsi Tambo Pariangan nama Minang kabau diceritakan sebagai berikut : (” Tidak berapa lama antaranya datang lagi raja itu membawa seeokor kerbau besar yang tanduknya sepanjang delapan depa. Maka raja itu bertaruh atau
bertanding, seandainya kalah kerbau kami, maka ambillah isi perahu ini. Maka dijawablah oleh raja, kemudian minta janji selama tujuh hari. Keesokkan hari dicarilah seekor anak kerbau yang sedang menyusu, lalu dipisahkan dari induknya. Anak kerbau tadi dibuatkan tanduk dari besi, yang bercabang dua yang panjangnya enam depa. Setelah sampai janji itu, maka dipasanglah tanduk palsu itu di kepala anak kerbau yang dipisahkan dari induknya itu. Melihat kerbau besar tersebut, berlarilah anak kerbau itu menuju kerbau besar yang disangka induknya sendiri untuk menyusu karena demikian haus dan laparnya. Lalu anak kerbau itu berbuat seperti menyusu sehingga tanduk palsunya masuk perut kerbau besar itu dan akhirnya mati. Maka mufakatlah seluruh rakyat akan menamakan negeri itu Minang kabau.
bertanding, seandainya kalah kerbau kami, maka ambillah isi perahu ini. Maka dijawablah oleh raja, kemudian minta janji selama tujuh hari. Keesokkan hari dicarilah seekor anak kerbau yang sedang menyusu, lalu dipisahkan dari induknya. Anak kerbau tadi dibuatkan tanduk dari besi, yang bercabang dua yang panjangnya enam depa. Setelah sampai janji itu, maka dipasanglah tanduk palsu itu di kepala anak kerbau yang dipisahkan dari induknya itu. Melihat kerbau besar tersebut, berlarilah anak kerbau itu menuju kerbau besar yang disangka induknya sendiri untuk menyusu karena demikian haus dan laparnya. Lalu anak kerbau itu berbuat seperti menyusu sehingga tanduk palsunya masuk perut kerbau besar itu dan akhirnya mati. Maka mufakatlah seluruh rakyat akan menamakan negeri itu Minang kabau.
Menurut Drs. Zuber Usman, dalam bukunya ” Kesustraan Lama Indonesia”. Dalam buku Hikayat raja-raja Pasai itu dikemukakan Raja Majapahit telah menyuruh Patih Gajah Mada pergi menaklukan pulau Perca dengan membawa seekor kerbau keramat yang akan diadu dengan kerbau Patih Sewatang. Dalam pertarungan ini Patih Sewatang mencari anak kerbau yang sedang kuat menyusu. Setelah sekian lama tidak menyusu kepada induk baru dibawa ke arena pertarungan. Karena haus dan kepalanya diberi MINANG (taji yang tajam), ketika pertarungan terjadi anak kerbau tersebut menyeruduk kerbau raja Majapahit tadi. Dalam pertarungan ini Patih Sewatang menang. Berdasarkan kepada Tambo mungkin ada yang bertanya mengapa tidak disebut “Manang kabau”, tetapi Minangkabau. Jawabnya karena kemenangan itu lantaran anak kerbau tadi memakai kata ” MINANG” yaitu taji yang tajam dan runcing, sehingga merobek perut
lawannya.(kompasiana)
lawannya.(kompasiana)
+ komentar + 1 komentar
dalam hikayat raja pasai juga disebut tentang adu kerbau begitu juga babat jawa banyak menyebut pristiwa adu kerbau tersebut. sedangkan minangatamwan dalam prasasti kedukan bukit tahun 683M adalah negri yang ditaklukan oleh kerajaan sriwijaya / shelifoshi sebab berdasarkan pakta sejarah dari keterangan itsing yang pernah tinggal di sriwijaya/shelifishi tahun 671M sudah ada kerajaan sriwijaya/shelifoshi dan sudah beribukota di kota foshi /kota musi/palembang jaya yang terletak disungai foshi/sungai musi. tahun 683M itu bukanlah pendirian kerajaan sriwijaya/shelifoshi dan bukan pula pemindahan ibukota dari kota minangatamwan kekota foshi/ kota musi/palembang jaya. tahun 683M adalah kerajaan sriwijaya menaklukan minangatamwan. sedangkan dapuntahyang jaya nasa berdasarkan bahasa prasasti sriwijaya yang dikeluarkan dapuntahyang sri jaya nasa yang berbahasa melayu palembang dan india dan sunda dspat disimpulkan dapuntahyang stijsya nasa adalahketurunan melayu palembang campuran infia dan sunda.satupun tak ada kosakata bahasa minangkabaw asli dalam prasasti sriwijaya yangdikeluarkan dapuntahyang sri jaya nasa maka mustahil dapunta orang minangkabaw.
wallahua'lam.
Posting Komentar