Semangat
pemekaran nagari tampaknya masih terus bergelora. Baik karena alasan
peningkatan pelayanan pemerintahan dan luas wilayah, jumlah penduduk
atau untuk tujuan pemekaran kecamatan dan kabupaten maupun tergoda
iming-iming akan adanya bantuan Rp 1 milyar/nagari/desa.
Dulu
sebelum diberlakukan UU No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa,
jumlah nagari di Sumatera Barat hanya 543. Lalu, karena tergoda bantuan
pemerintah Rp 100 ribu/ desa/ tahun maka tahun 1980 jorong yang tadinya
bagian nagari “diangkat ” jadi desa sehingga Sumatera Barat memiliki
3.593 desa.
Setelah 20 tahun berdesa, meski jumlah bantuan desa terus meningkat, muncul kesadaran bahwa persoalan yang muncul kemudian tak sebanding dengan nilai materi yang diperoleh. Terutama persoalan yang berhubungan dengan aset/kekayan nagari, kepemimpinan adat dan kultur adat salingka nagari pusako salingka kaum. Keberadaan pemerintahan desa dan pemimpin masyarakat adat malah menimbulkan dualisme kekuasaan/ kewenangan dalam masyarakat.
Upaya mengukuhkan nagari sebagai wilayah hukum adat dan KAN sebagai lembaga pengawas dan pelindung wilayah hukum adat melalui Perda No.13 Tahun 1983 tak serta merta memuluskan jalan pemerintahan desa. Maka, setelah reformasi dan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan (otonomi) Daerah, kemudian diganti UU No. 32 Tahun 2004, muncul semangat untuk menggali potensi daerah, termasuk desa.
Pilihan akhirnya kembali ke pemerintahan nagari dan desa kembali ke jorong. Alasannya, selain desa dianggap tak cukup kuat membiayai dirinya sendiri, potensi sosial ekonomi dan budaya dinilai lebih berkembang di bawah pemerintahan nagari. Tahun 2000 pemerintahan terendah di Sumatera Barat resmi kembali ke nagari, kecuali Kota Sawahlunto yang tetap dengan pemerintahan desa dan kota-kota dengan kelurahan.
Tahun 2001 jumlah nagari masih 538. Kemudian tahun 2010 atas berbagai pertimbangan beberapa nagari dimekarkan hingga mencapai 642 nagari. Kini, dengan adanya iming-iming batuan pemerintah Rp 1 milyar/ desa/ nagari, keinginan untuk memekarkan nagari menggebu lagi. Kabupaten Pesisir Selatan misalnya. Semula cuma terdiri dari 36 nagari (364 desa). Pada tahun 2010 dimekarkan jadi 76 nagari. Belakangan setelah disahkan Perda No. 9 Tahun 2010 akan ada lagi 95 nagari baru sehingga nanti berjumlah 171 nagari. Diantaranya satu nagari dimekarkan jadi 20 nagari.
Dilema Lama Nagari Baru
Uang memang menentukan jalannya pemerintahan. Tapi uang bukanlah segala-galanya. Pengalaman di bawah pemerintahan nagari kemudian beralih ke pemerintahan desa, lalu, kembali lagi ke nagari cukup jadi bukti. Maka, kalau kini uang kembali jadi motivasi pemekaran nagari, persoalan yang pernah dihadapi pemerintahan desa otomatis akan terulang kembali di bawah nagari pemekaran.
Persoalan itu antara lain mengenai pewilayahan nagari. Dalam pasal 2 Perda Provinsi Sumatera Barat No. 2 Tahun 2007 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari disebutkan bahwa nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum adat dengan batas tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat dalam hal adat istiadat. Pasal 3 menyebutkan bahwa wilayah nagari meliputi wilayah hukum adat dengan batas tertentu yang berlaku secara turun temurun dan diakui sepanjang adat. Artinya, adat salingka nagari pusako salingka kaum, di urus oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan jajarannya sebagai perwakilan permusyawaratan adat (pasal 28). Sedang urusan pemerintahan sebagai mana dijelaskan pasal 1 ayat (9) dan pasal 4 ayat (1) diurus pemerintah (wali) nagari dan Badan Musyawarah (Bamus) nagari.
Jika nagari sebagai wilayah kesatuan masyarakat dan hukum adat, dan kewenangan itu berada di bawah KAN, seharusnya tiap nagari memiliki satu KAN. Sebaliknya, tidaklah utuh sebuah nagari tanpa adanya satu KAN. Padahal membentuk KANbaru di sebuah nagari pemekaran/ baru, jelas tak mudah. Hal ini akan berimplikasi pada penentuan wilayah hukum dan masyarakat adat baru yang bukan mustahil berbenturan dengan prinsip adat salingka nagari.
Misalnya, nanti akan ada tuntutan untuk membentuk suku dengan penghulu baru yang terpisah dari suku dan penghulu di nagari induk. Bahkan, tak mustahil, akan mengundang muncul kasus kawin sesuku karena setelah nagari terbagi akan berlaku pantun bialah kangkuang asal indak kasek, bialah sakampuang (sasuku) asal indak badakek.
Selain itu pembentukan nagari baru juga akan berimplikasi pada pembagian harta kekayaan dan pendapatan nagari sebagaimana diatur pasal 16 dan 21 Perda No. 2 Tahun 2007 . Yaitu, pasar nagari, tanah lapang atau objek rekreasi, balai, masjid, dan atau surau nagari, tanah, hutan, sungai, kolam, laut yang menjadi ulayat nagari, bangunan milik pemerintahan nagari dan harta kekayaan lainnya. Tanpa kekayaan itu sebuah nagari tentu tak memiliki sumber pendapatan. Karena itu agaknya Nagari Pangkalan Kotobaru (10 jorong), Kabupaten 50 Kota, berpenduduk 11 ribu jiwa tak berniat memekarkan diri.
Meski nagari terus beranak pinak, jumlah KAN sejak 1970-an silam masih 543. Perda No. 2 Tahun 2007 hanya mengatur soal pemekaran nagari dan tak satu kata pun menyinggung soal pembentukanKANbaru. Bahkan sejauh ini belum ada solusi atau tawaran pemikiran pemecahan dilemaKANdiantara nagari pemekaran itu baik dari pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota, tak berani menyentuh pembentukanKANbaru. Niat untuk merevisi Perda No. 2 Tahun 2007 juga belum terbetik. Maklum urusan itu sangat sensitif karena akan berimplikasi pemecahan kekayaan, wilayah dan masyarakat hukum adat.
Dengan demikian bisa dipastikan, keberadaan dan persoalan yang dihadapi pemerintahan nagari (pemekaran) yang tak disertai KAN tersendiri persis sama dengan pemerintahan desa di bawah nagari tempo hari. Artinya, persoalan yang dulu muncul dalam pemerintahan desa akan terulang dalam pemerintahan nagari (pemekaran). Sebuah PR yang perlu segera diatasi sebelum jadi perkara yang membara.(*)
Komentar Singgalang Jumat 4 November 2011
Oleh Fachrul Rasyid HF
Posting Komentar