Headlines Kito :

Tokoh Pendidikan Islam : Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, (1899-1982)

Mahmud Yunus adalah produk zaman dan lingkungannya. Situasi sosial yang melatarbelakangi kehidupannya telah membentuk karakternya menjadi sosok yang ikut mengisi perjalanan sejarah ; ia telah berfikir dan berbuat untuk menjawab problema sosial, bangsa dan agamanya dengan memilih jalur pendidikan sebagai sisi yang ia anggap paling strategis pada waktu itu.

Latar Belakang

Akhir abad ke sembilan belas dan awal abad keduapuluh adalah masa dimana arus kebangkitan Islam sedang mengalir ke berbagai penjuru dunia, tidak terkecuali Indonesia. Gelombang kebangkitan ini dihembuskan pada awalnya oleh Jamaluddin Al-Afghany dan rekannya Sayyid Rasyid Ridha dari Mesir. Arus gelombang kebangkitan Islam ini sangat dirasakan konsekuensi politisnya oleh pemerintahan kolonial di Indonesia. Dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 telah menyebabkan meningkatnya jumlah rakyat pribumi melakukan perjalanan haji (Benda, 1980 ; 8). Dengan demikian kontak intelektual antara kawasan jajahan dengan pusat Islam dan sesama wilayah terjajah lainnya menjadi meningkat pula. Keadaan ini telah “memaksa” Belanda untuk mengubah arah kebijakan politiknya. Pada tahun 1901 Belanda mulai menjalankan politik etis (Depdikbud, 1976 ; 97). Gagasan politik ini bertujuan untuk menjaga kondisi sosial politik pemerintahan kolonial di Indonesia dengan menawarkan “balas jasa” pemerintah terhadap rakyat pribumi dalam bentuk perluasan kesempatan memperoleh pendidikan barat bagi rakyat pribumi.

Konsekuensi politik etis ini, pada gilirannya, sangat mempengaruhi perkembangan sistem pendidikan pribumi (baca : pendidikan Islam). Wadah-wadah pendidikan Islam mulai terancam, karena sistem pendidikan yang dijalankan oleh Belanda terbuka luas bagi rakyat, dan sangat disadari pula bahwa, melalui pendidikan, Belanda melakukan proses “pembaratan” rakyat pribumi yang pada gilirannya akan melempangkan jalan bagi politik kolonial sendiri.

Kebijaksanaan pendidikan Belanda di Indonesia didasarkan pada pandangan bahwa pendidikan Islam (tradisional) dianggap sebagai kekuatan laten yang dapat mengancam pemerintah. Oleh karenanya harus dicari ikhtiar untuk melemahkan potensi Islam melalui kebijakan pendidikan ini. Pada tahun 1905 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan “Goeroe Ordonantie”, yakni undang –undang yang mewajibkan para pendidik di sekolah-sekolah diluar kontrol pemerintah, memperoleh izin dari instansi yang ditentukan (Ridwan Saidi, 1984 ; 126).

Ordonansi Guru ini mendapat protes yang keras dari kalangan umat Islam Indonesia, terlebih lagi di Sumatera Barat. Penolakan aturan baru ini di Sumatera Barat dipelopori oleh kalangan pembaharu Islam dibawah koordinasi H. Abdul karim Amarullah. Aksi penolakan ini akhirnya berhasil menggagalkan atau, paling tidak, memperlonggar undang-undang tersebut.

Pada dasarnya, situasi sosial dan politik di Hindia Belanda pada awal abad ke dua puluh, telah berimplikasi terhadap bidang pendidikan Islam. Antara pendidikan dan politik terdapat kaitan yang sukar dipisahkan, paling tidak, menurut persepsi Belanda pada waktu itu. Sehingga tidak heran bila sistem pendidikan Islam sering dijadikan bulan-bulanan dan harus berhadapan dengan kebijakan-kebijakan pemerintahan jajahan yang tidak menguntungkan. Keadaan inilah yang telah memicu terhadap meningkatnya kesadaran rakyat pribumi, terutama kalangan ulama, untuk makin memberikan prioritas dalam bidang pendidikan serta mendirikan organisasi-organisasi sosial keagamaan yang sekaligus bergerak dalam lapangan pendidikan dan bahkan politik.

Kondisi sosial dan politik seperti inilah yang telah memberi pengaruh kuat terhadap proses pendewasaan karakter intelektualitas Mahmud Yunus dan sekaligus memotivasinya untuk menjadikan bidang pendidikan Islam sebagai pilihan professinya.. Perubahan politik dari pemerintahan kolonial Belanda, pendudukan Jepang hingga Indonesia merdeka adalah rentangan pengalaman yang tidak diabaikannya dalam memposisikan sistem pendidikan Islam dalam perkembangan masyarakat Indonesia sebagaimana akan dijelaskan pada uraian selanjutnya.

Lingkungan Keluarga

Mahmud Yunus dilahirkan pada tanggal 30 Ramadhan 1316 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 10 Februari 1899 Masehi di desa Sungayang Batusangkar Sumatera Barat. Ia dilahirkan dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang petani biasa, bernama Yunus bin Incek, dari suku Mandailing dan ibunya bernama Hafsah dari suku Chaniago. Walaupun dilahirkan dari keluarga yang sederhana, namun mempunyai nuansa keagamaan yang kuat. Ayah Mahmud adalah bekas pelajar surau dan mempunyai ilmu keagamaan yang cukup memadai, sehingga dia diangkat menjadi Imam Nagari (Riwayat Hidup, tt). Jabatan Imam Nagari pada waktu itu, diberikan secara adat oleh anak nagari kepada salah seorang warganya yang pantas untuk menduduki jabatan itu atas dasar ilmu agama yang dimilikinya. Disamping itu Yunus bin Incek dimasyhurkan juga sebagai seorang yang jujur dan lurus (Riwayat Hidup, tt).

Ibu Mahmud seorang yang buta huruf, karena ia tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah, apalagi pada waktu itu di desanya belum ada sekolah desa. Tetapi ia dibesarkan dalam lingkungan yang Islami. Kakek Hafsah adalah seorang ulama yang cukup dikenal, bernama Syekh Muhammad Ali yang dimasyhurkan orang dengan Tuanku Kolok. Ayahnya bernama Doyan Muhammad Ali, bergelar Angku Kolok (Mahmud Yunus, 1979). Pekerjaan Hafsah sehari-hari adalah bertenun. Ia mempunyai keahlian menenun kain yang dihiasi benang emas, yaitu kain tradisional Minangkabau yang dipakai pada upacara-upacara adat (Riwayat Hidup, tt, : 5).

Saudara Hafsah bernama Ibrahim, seorang saudagar kaya di Batusangkar. Kekayaan Ibrahim ini sangat menopang kelanjutan pendidikan Mahmud, terutama pada waktu ia belajar ke Mesir. Ibrahim sangat memperhatikan bakat serta kecerdasan yang dimiliki oleh kemenakannya ini. Dialah yang mendorong Mahmud untuk melanjutkan pelajarannya ke luar negeri dengan disertai dukungan dana untuk keperluan itu.

Hal ini memberikan gambaran tentang bagaimana tanggung jawab seorang mamak terhadap kemenakan yang berlaku di Minangkabau pada waktu itu sebagai pepatah yang berbunyi : “Anak dipangku, kamanakan dibimbiang”. Suatu kelaziman yang berlaku sepenuhnya pada waktu itu, bahwa tanggung jawab mamak terhadap kemenakan bukanlah didasarkan atas ketidakmampuan dari ayah kemenakan itu sendiri.

Ibrahim mempunyai seorang anak yang sebaya dengan Mahmud. Ia bergelar Datuk Sati, sangat ahli dalam bidang adat. Ini diasumsikan menjadi penyebab mengapa Mahmud kurang menonjol pengetahuannya dalam adat Minangkabau. Ibrahim agaknya menginginkan arahan yang berbagi antara anak dan kemenakan. Karena anaknya sangat menggemari masalah-masalah adat, maka ia menyalurkan kegemarannya untuk belajar kepada ahli-ahli adat, hingga ia menguasai adat ini dengan baik. Di lain pihak, melihat perkembangan Mahmud dari kecil, ternyata lebih cenderung mempelajari agama, maka Ibrahimpun menyokong kecenderungan ini. Bahkan dia tak berkeberatan menanggung semua biaya yang diperlukan untuk keperluan itu, hingga Mahmud dapat melanjutkan pelajarannya ke tingkat yang lebih tinggi.

Dukungan ekonomi dari sang mamak dengan disertai dorongan dari orang tuanya, maka Mahmud sejak kecil hingga remaja hanya dilibatkan dengan keharusan untuk belajar dengan baik, tanpa harus ikut memikirkan ekonomi keluarga dalam membantu orang tuanya mencari nafkah, ke sawah atau ke ladang (Ismail Laut, wawancara) meskipun Mahmud satu-satunya anak laki-laki dalam keluarganya; ia dan adiknya Hindun. Sedangkan ayahnya telah meninggalkan ibunya selagi Mahmud masih kecil, sebelum ia muamyyiz (Riwayat Hidup, tt : 5)

Pendidikan

Belajar mengaji di surau adalah jalur pendidikan awal yang ditempuh oleh Mahmud kecil. Ia belajar dengan kakeknya sendiri, Muhammad Thaher bin Muhammad Ali gelar Angku Gadang. Mahmud mulai mengaji di surau kakeknya ini dalam usia 7 tahun dan dalam waktu kurang dari satu tahun, berkat ketekunannya, ia dapat menamatkan Al-Quran. Segera setelah khatam Al-Quran, Mahmudpun dipercaya oleh kakeknya menjadi Guru Bantu untuk mengajari anak-anak yang menjadi pelajar pemula sambil ia mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab (ilmu Sharaf) dengan kakeknya.

Pada tahun 1908, dengan dibukanya Sekolah Desa oleh masyarakat Sungayang, Mamudpun tertarik untuk memasuki sekolah ini. Ia kemudian meminta restu dari ibunya untuk belajar ke Sekolah Desa tersebut. Setelah mendapat restu ibunya, iapun mengikuti pelajaran di Sekolah Desa pada siang hari, namun tanpa meninggalkan tugas-tugasnya di Surau kakeknya mengajar Al-Quran pada malam harinya. Rutinitas seperti ini dijalani oleh Mahmud dengan tekun dan penuh prestasi, Tahun pertama Sekolah Desa diselesaikannya hanya dalam masa 4 bulan, karena ia memperoleh penghargaan untuk dinaikkan ke kelas berikutnya. Bahkan di kelas tiga, ia tetap bertahan dengan nilai tertinggi diantara teman-teman sekelasnya (Riwayat Hidup, tt : 10). Pendidikan di Sekolah Desa hanya dijalaninya selama kurang dari tiga tahun. Pada waktu ia belajar di kelas empat, Mahmud menunjukkan ketidakpuasannya terhadap mata pelajaran di Sekalah Desa, karena pelajaran yang diberikan tidak berbeda jauh dari pelajaran kelas tiga. Bertepatan pula pada waktu itu H. M. Thaib Umar membuka madrasah di surau Tanjung Pauh Sungayang. Madrasah ini bernama Madras School. Sekalilagi dengan restu ibunya Mahmudpun pindah ke Madras School di bawah asuhan H.M. Thaib Umar yang dikenal sebagai salah seorang ulama pembaharu Minangkabau. Di sekolah ini ia mempelajari ilmu Nahwu, ilmu Sharaf, Berhitung dan Bahasa Arab. Ia belajar di sini dari jam 09.00 pagi hingga jam 12.00 siang, sementara pada malam harinya ia tetap mengajar di surau kakeknya.

Pada tahun 1911, karena keinginan untuk mempelajari ilmu-ilmu agama.secara lebih mendalam dengan H.M. Thaib Umar, Mahmud menarik diri dari surau kakeknya untuk kemudian menggunakan waktu sepenuhnya, siang dan malam, belajar ilmu Fiqh dengan H.M. Thaib Umar di surau Tanjung Pauh. Ia belajar dengan tekun dengan ulama pembaharu ini, hingga ia menguasai ilmu-ilmu agama dengan baik, bahkan ia dipercayakan oleh gurunya ini untuk mengajarkan kitab-kitab yang cukup berat untuk ukuran seusianya. Pada tahun 1917, Syekh H.M. Thaib Umar mengalami sakit, karena itu Mahmud Yunus secara langsung ditugasi untuk menggantikan gurunya memimpin Madras School.

Setelah memiliki pengalaman beberapa tahun belajar, kemudian mengajar dan memimpin Madras School serta telah menguasi dengan mantap beberapa bidang ilmu agama, Mahmud kemudian berkeinginan untuk melanjutkan pelajarannya ke tingkat yang lebih tinggi di Mesir. Keinginan ini muncul setelah ia berkesempatan menunaikan ibadah Haji ke Mekkah. Pada tahun 1924 ia berangkat ke Mesir bersama rombongan jemaah Haji.

Di Mesir, Mahmud kembali memperlihatkan prestasi yang istimewa. Ia mencoba untuk menguji kemampuannya dalam ilmu-ilmu agama dengan mengikuti ujian akhir untuk memperoleh Syahadah (ijazah) ‘Alimiyyah, yaitu ujian akhir bagi siswa-siswa yang telah belajar sekurang-kurangnya 12 tahun ( Ibtidaiyyah 4 tahun, Tsanawiyah 4 tahun, dan ‘Aliyah 4 tahun). Ada 12 mata pelajaran yang diuji untuk mendapatkan syahadah ini, namun kesemuanya telah dikuasai oleh Mahmud waktu belajar di tanah air, sebagaimana dicatatkannya :.

Kalau hanya ilmu itu saja yang akan diuji. Saya sanggup masuk ujian itu, karena keduabelas macam ilmu itu telah saya pelajari di Indonesia, bahkan telah saya ajarkan beberapa tahun lamanya (1915-1923) (Riwayat Hidup, tt ; 28

Ujian ini dapat diikutinya dengan baik dan berhasil lulus serta mendapatkan ijazah (syahadah) “Alimiyyah pada tahun yang sama tanpa melalui proses pendidikan. Dengan ijazah ini, Mahmud lebih termotivasi untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Dia kemudian memasuki Darul ‘Ulum ‘Ulya Mesir. Pada tahun 1925 ia berhasil memasuki lembaga pendidikan yang merupakan Madrasah ‘Ulya (setingkat perguruan tinggi) agama yang juga mempelajari pengetahuan umum. Ia memilih jurusan Tadris (Keguruan). Perkuliahan di Darul ‘Ulum ‘Ulya mulai dari tingkat I sampai tingkat IV dan semua tingkat itu dilaluinya dengan baik, Bahkan pada tingkat terakhir, dia memperoleh nilai tertinggi pada mata kuliah Insya` (mengarang). Pada waktu ini Mahmud adalah satu-satunya mahasiswa asing yang berhasil menyelesaikan hingga ke tingkat IV di Darul ‘Ulum.

Setelah menjalani masa pendidikan dan menimba berbagai pengalaman di Mesir, iapun kembali ke tanah air pada tahun 1931.

Karir Kependidikan

a. Memimpin Al-Jami’ah Al-Islamiyyah di Sungayang

Pendidikan Islam adalah jalur professi yang menjadi pilihan Mahmud, sebagai telah dikemukakan terdahulu. Pilihan ini pulalah yang menuntunnya melakukan pilihan jurusan dalam pendidikan yang ia lalui, untuk kemudian sangat berperan memantapkan langkah dalam setiap jenjang karir yang dilaluinya. Sekembalinya ke Indonesia, Mahmud mulai menerapkan ilmu yang diperolehnya. Madras School yang dulu pernah dipimpin Mahmud menggantikan gurunya HM. Thaib Umar, mulai mendapat sentuhan perubahan. Mahmud mengganti nama Madras School dengan Al-Jami’ah Al-Islamiyah. Sekolah ini, oleh Mahmud dibuat berjenjang sebagai lazimnya sekolah-sekolah pemerintah, yaitu jenjang Ibtidaiyyah denga masa belajar 4 tahun setingkat Schakel, jenjang Tsanawiyyah dengan masa belajar 4 tahun, setingkat MULO, dan jenjang “Aliyah dengan masa belajar 4 tahun, setingkat AMS (Riwayat Hidup, tt ; 45). Aljami’ah Al-Islamiyyah dipimpin oleh Mahmud Yunus selama 2 tahun (1931-1932), karena setelah itu kegiatan Mahmud lebih banyak di Padang dalam memimpin Normal Islam yang didirikan oleh PGAI pada waktu yang sama.

b. Memimpin Normal Islam di Padang

Normal Islam (Kulliyyatul Mu’allimin al_Islamiyyah) didirikan di Padang oleh Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) pada bulan April 1931. Sekolah ini setingkat ‘Aliyah dan bertujuan untuk mendidik calon guru. Oleh karena itu murid yang diterima di sekolah ini adalah lulusan madrasah 7 tahun. Kepemimpinan Normal Islam dipercayakan kepada Mahmud Yunus semenjak didirikan, Jadi, pada waktu yang bersamaan, Mahmud memimpin dua lembaga pendidikan sekaligus, yaitu Normal Islam di Padang dan Al-Jamiah Al-Islamiyyah di Sungayang

Normal Islam adalah madrasah yang terbilang modern untuk waktu itu, Sekolah ini, disamping telah memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulum pengajarannya, juga sudah memiliki laboratorium kimia dan fisika, juga alat-alat praktikum lainnya.

Selama memimpin Normal Islam, Mahmud telah melakukan pembaharuan sistem pengajaran, terutama metoda pengajaran Bahasa Arab. Bahkan buku-buku yang digunakan adalah buku karangannya sendiri, yaitu : Durus al- Lughah al-‘Arabiyyah, yang dikarangnya sewaktu belajar di Mesir. Salah satu hasil dari perubahan metode yang dilakukan oleh mahmud Yunus adalah siswa-siswa mampu berbahasa Arab secara aktif, sementara pada waktu itu lulusan madrasah yang ada pada umumnya hanya mampu berbahasa Arab secara pasif.

c. Memimpin Sekolah Islam Tinggi (SIT) di Padang

Sekolah Tinggi Islam ini merupakan perguruan tinggi Islam pertama di Minangkabau bahkan di Indonesia. SIT didirikan oleh PGAI di Padang pada bulan Desember 1940 dan sebagai pemimpin pertama, sekali lagi oleh PGAI, dipercayakan kepada Mahmud Yunus.

Sekolah Tinggi ini terdiri dari dua fakultas, yaitu : Fakultas Syari’at dan Fakultas Pendidikan/Bahasa Arab. Akan tetapi sekolah tinggi ini hanya berjalan kurang dari tiga tahun, karena pada tahun 1942, saat Jepang telah menguasai kota Padang, ada ketentuan pemerintahan baru ini yang tidak membolehkan adanya sekolah tinggi di daerah pendudukannya.

d. Mendirikan dan Memimpin Sekolah Menengah Islam (SMI) di Bukittinggi

Pada saat tentara sekutu menduduki kota Padang, secara beruntun terjadi pertempuran hebat antara pemuda-pemuda dengan tentara sekutu. Suasana ini mengakibatkan terancamnya sekolah-sekolah agama Islam yang ada di Padang. Banyak guru-guru dan murid-murid yang mengungsi ke Bukittinggi.

Di Bukittinggi, atas prakarsa Mahmud Yunus dan dengan kesepakatan guru-guru yang ada, untuk menjaga kelangsungan pendidikan agama Islam didirikanlah Sekolah Menengah Islam (SMI) pada bulan September 1946. Sekolah ini dipimpin pertama kali secara langsung oleh Mahmud Yunus, namun tidak lama, pada bulan Desember, Mahmud dipindah tugaskan ke Pematang Siantar, dan kepemimpinan SMI dipegang oleh H. Bustami Abdul Gani.

e. Memimpin IAIN Imam Bonjol di Padang

Menjadi Rektor pertama pada perguruan tinggi agama Islam negeri pertama di Sumatera Barat adalah jabatan terakhir yang diemban Mahmud Yunus selama menjadi pegawai Departemen Agama. Banyak aktifitas keagamaan dan kependidikan agama yang telah dijalaninya pada waktu sebelumnya, baik sebagai Dekan pada Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, sebagai Kepala Lembaga Pendidikan Agama pada Jawatan Pendidikan Agama dan sebagai dosen pada beberapa perguruan tinggi. Pengalaman-pengalaman itu, tentu menjadi pertimbangan bagi Menteri Agama untuk mempercayakan jabatan Rektor IAIN Imam Bonjol di Padang. Jabatan ini dipegangnya dari tahun 1967 hingga memasuki masa pensiun pada akhir tahun 1970. Masa yang dianggap cukup untuk merintis dan mengasuh Institut Agama Islam yang baru berdiri ini.

Gagasan dan Perjuangan

a. Pembaharuan Metode Pengajaran Agama Islam dan Bahasa Arab

Aktifitas Mahmud Yunus dalam bidang pendidikan Islam pada dasarnya telah dimulainya sebelum belajar ke Mesir. Keikut sertaannya dalam Rapat Alim Ulama Minangkabau di Padangpanjang pada tahun 1919 menjadi pajakan awal pemantapan dirinya untuk mengerahkan potensi, gagasan dan perjuangannya dalam bidang pendidikan Islam. Rapat ini menghasilkan keputusan antara lain mendirikan Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) yang kemudian menjadi salah satu tonggak episode perkembangan pendidikan Islam modern di Sumatera Barat. Ini terlihat dari beberapa kiprah organisasi ini dalam memajukan pendidikan agama Islam sebagai yang telah dikemukakan terdahulu. Beberapa sekolah yang didirikan oleh PGAI yang diawali dengan Normal Islam di Padang pada tahun 1931, Sekolah Tinggi Islam dan Sekolah Menengah Islam di Bukittinggi telah mempelihatkan komitmen yang jelas dari langkah organisasi ini dalam bidang pendidikan Islam. Melalui organisasi ini pulalah Mahmud Yunus mengabdikan diri, mencurahkan segenap ilmu serta gagasan-gagasan pendidikan, baik yang ia peroleh dari Mesir, maupun dari pengalaman belajar dan mengajar sebelumnya.

Kepercayaan yang diberikan oleh organisasi ini kepada Mahmud Yunus untuk memimpin lembaga-lembaga pendidikan di bawah PGAI lebih dapat dilihat dari kompetensi serta integritas keilmuan yang dimilikinya. Gagasan-gagasan pembaharuan materi ajar, kurikulum hingga metode pengajaran pada lembaga pendidikan tersebut adalah buah dari kesungguhan intelektual Mahmud Yunus dalam mengabdikan diri dalam bidang pendidikan Islam.

b. Memasukkan Pelajaran Agama ke Kurikulum Sekolah Pemerintah

Salah satu kepeloporan Mahmud Yunus yang hingga saat ini hampir-hampir dilupakan oleh sejarah adalah usaha yang dilakukannya untuk menempatkan mata pelajaran agama Islam dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah pemerintah. Di masa pemerintahan Jepang, tepatnya pada tahun 1943 Mahmud Yunus terpilih mewakili Majlis Islam Tinggi (MIT) sebagai penasehat Residen (Syu-Cho-Kan) di Padang. Pada waktu residen Yano Kenzo berniat mendirikan Gyu Gun (Lasykar Rakyat), Mahmudpun termasuk salah seorang tokoh yang diharapkan dapat merekrut keanggotaan Gyu Gun, disamping tokoh lainnya seperti Ahmad Dt. Simarajo dan Khatib Sulaiman. Kedekatan Mahmud Yunus dengan pemerintahan inilah yang kemudian dia manfaatkan untuk merealisasikan obsesi nya. Ia mengusulkan kepada pemerintah agar pendidikan agama Islam diberikan di sekolah-sekolah pemerintah. Usulan Mahmud ini dapat dipertimbangkan oleh Jepang untuk diterima. Sejak saat itu pelajaran agama Islam diberikan di sekolah-sekolah pemerintah pada waktu itu dan sekaligus Mahmud Yunus diangkat menjadi pengawas pendidikan agama pada pemerintahan Jepang. Pada waktu yang bersamaan ia juga memimpin Normal Islam di Padang.

Upaya untuk memasukkan mata pelajaran agama Islam ke dalam kurikulum pendidikan umum (pemerintah) juga dilakukan oleh Mahmud Yunus setelah kemerdekaan. Sebagai mantan pengawas pendidikan agama pada masa Jepang, ia mengusulkan hal yang sama kepada Jawatan Pengajaran Sumatera Barat yang pada waktu itu dikepalai oleh Sa’aduddin Jambek. Usul inipun diterima, dan Mahmud sendiri yang menyusun kurikulum serta buku-buku pegangan untuk keperluan pengajarannya. Buku-buku tersebut kemudian diterbitkan oleh Jawatan Pengajaran Sumatera Barat pada tahun 1946.

Pada waktu Mahmud Yunus dipindahtugaskan ke Pematang Siantar sebagai Kepala Kepala bagian Agama Islam pada Jawatan Agama Propinsi Sumatera, bersamaan dengan itu pula pindahnya ibukota Propinsi Sumatera ke kota itu. Di sini ia mengusulkan pula hal yang sama kepada Jawatan Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP & K) provinsi. Usul ini diterima oleh kepala Jawatan PP&K propinsi yang pada waktu itu dikepalai oleh Abdullah Nawawi. Usul ini dibawa ke dalam forum konferensi Pendidikan dan Pengajaran se- Sumatera yang diadakan di Padangpanjang bulan Maret 1947 dan diterima secara bulat oleh peserta konferensi (Deliar Noer, 1983; 56, Riwayat Hidup, tt ; 51). Dengan demikian pendidikan Islam masuk secara resmi dalam rencana pengajaran seskolah-sekolah negeri di Sumatera pada tahun 1947. Sementara do Sumatera Barat telah berjalan setahun sebelumnya.

Untuk merealisasikan rencana tersebut, Jabatan Pengajaran melaksanakan kursus untuk guru-guru agama di Pematang Siantar selama sebulan penuh. Kursus ini dikuti oleh utusan kabupaten dari seluruh Sumatera dan sebagai pimpinan kursus dipercayakan oleh Mahmud Yunus.

Pada tahun 1948, Mahmud membuat rencana baru tentang pelajaran agama untuk sekolah umum tingkat pertama. Gagasan ini mendapat sambutan puladari pemerintah provinsi, akhirnya mengangkat Mahmud menjadi inspektur pelajaran agama pada kantor pendidikan provinsi (Deliar Noer,1983;57), disamping ia tetap menjabat Kepala Bagian Islam.

Pada waktu pemerintah Republik Indonesia Serikat berpusat di Jakarta (1950), mulai diadakan kesatuan rencana pendidikan Islam untuk seluruh Indonesia. Pada tahun sebelumnya kementerian Agama di Yogyakarta mengeluarkan penetapan bersama Menteri PP & K tentang pelajaran agama di sekolah-sekolah negeri. Dalam penetapan itu pendidkan agama dapat diberikan mulai kelas IV sekolah rakyat.

Pada tahun 1950 Mahmud pindah ke Kementerian Agama RIS di Jakarta. Sebagaimana telah diketahui bahwa di Sumatera, pelajaran Agama Islam telah mulai diberikan di kelas satu sekolah rakyat, berdasarkan rencana Mahmud Yunus dan telah dilaksanakan di Sumatera Barat mulai 1 April 1946. Maka oleh Sekjen Kementerian Agama RI Yogyakarta bersama Mahmud Yunus, diusahakanlah untuk mengkompromikan antara kurikulum Sumatera tersebut dengan kurikulum Kementerian RI Yogyakarta. Rencana ini disampaikan kepada Menteri PP & K untuk mendapatkan persetujuan.

Setelah diadakan pertemuan beberapa kali antara Mahmud Yunus sebagai wakil Kementerian Agama RI dengan Sekjen Kementerian PP & K, Mr.Hadi, maka dikeluarkanlah peraturan bersama No.1432/Kab. tanggal 20-1-1951 (Pendidikan) dan No.K.1/651 tanggal 20-1-1951 (Agama), yang isinya antara lain: menetapkan pendidikan agama di sekolah rendah, dimulai pada kelas IV, banyaknya 2 jam seminggu (pasal 2 ayat 1). Di lingkungan istimewa, pendidikan agama dapat dimulai pada kelas satu, dan jamnya dapat ditambah menurut kebutuhan, tetapi tidak melebihi 4 jam seminggu (pasal 2 ayat 2) dan di sekolah-sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas, diberi pendidikan agama 2 jam seminggu (pasal 3) (Mahmud Yunus, 1979 ;358-359).

Dengan keluarnya peraturan bersama itu, pendidikan agama Islam telah masuk dengan resmi ke sekolah-sekolah negeri dan berlaku juga untuk sekolah-sekolah partikelir, mulai dari SR, SMP, SMA dan sekolah-sekolah kejuruan.

c. Memperjuangkan Sekolah Agama Pemerintah dan Merintis IAIN

Di masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) Mahmud Yunus mengemuka-kan pula rencana mendirikan Madrasah Tsanawiyyah untuk seluruh Sumatera. Usul rencana ini mendapat persetujuan pula dari Menteri Agama PDRI. Setelah penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah RI, beberapa madrasah Tsanawiyyah yang pada waktu itu bernama Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI), didirikan di Sumatera Barat dan mendapat persetujuan dari pemerintah. Madrasah ini diselenggarakan secara swasta, meskipun Mahmud Yunus telah memperjuangkannya untuk dijadikan sekolah negeri.

Pada tanggal 1 September 1950 Mahmud diangkat menjadi Kepala Penghubung antara pusat Kementerian Agama RIS dan pusat Kementerian RI Yogyakarta. Dalam jabatan inilah Mahmud lebih banyak berhasil mengajukan rencana-rencana pendidikan agama Islam, seperti dikemukakan pada uraian terdahulu. Disamping itu keluarnya peraturan bersama Menteri PP & K dan Menteri Agama tentang PTAIN (1951) dan keluarnya keputusan Menteri PP & K dengan persetujuan Menteri Agama tentang penghargaan ijazah-ijazah madrasah(Yusran Ilyas, 1982 ; Riwayat Hidup, tt ; 65), adalah merupakan rangkaian usaha Mahmud selama memegang jabatan tersebut yang telah membawa prospek lebih baik bagi pendidikan agama di Indonesia pada umumnya.

Didirikannya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) juga tidak dapat dipisahkan dari usaha yang dilakukan oleh Mahmud Yunus. Pada waktu ia menjabat sebagai Dekan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, sebelumnya sudah berdiri Perguruan Tinggi Agama Islam ( PTAIN) di Yogyakarta. Karena itu, Muncul ide dari Mahmud Yunus untuk menyatukan kedua perguruan tinggi yang ada di bawah Departemen Agama ini. Pada waktu Mahmud menjabat sebagai Kepala Lembaga Pendidikan Agama pada Jawatan Pendidikan Agama, ia mengusulkan kepada Menteri Agama agar ADIA bisa dijadikan sebagai sebuah perguruan tinggi sampai tingkat sarjana penuh. Mentri Agama yang pada waktu itu dijabat oleh K.H. Wahib Wahab sang menyetuji usul ini. Menteri segera mengadap Presiden untuk mendapatkan persetujuan. Presiden setuju untukmengintegrasikan ADIA dan PTAIN menjadi satu perguruan tinggi agama di bawah Departemen Agama. Dengan demikian keluarlah Peraturan Presiden Nomor Tahun 1960 tentang pendirian Institut Agama islam Negeri. IAIN pada waltu awal ini memiliki fakultas, yaitu dua fakultas di Jakarta, masing-masing fakultas Tarbiyah (Dekan : Mahmud Yunus) dan fakultas Adab (Dekan : H. Bustami Abdul Gani).dan dua fakultas di Yogyakarta, yaitu fakultas Syari’ah dan Ushuluddin dengan dekan masing-masing Prof Hasbi Ash-Shiddiqy, dan Prof Mukhtar Yahya. .

Kunjungan ke Luar Negeri

Sewaktu Mahmud menjadi Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta dan menjabat Rektor IAIN Imam Bonjol Padang, Mahmud beberapa kali terlibat dalam aktivitas di luar negeri. Perlawatan pertama adalah merupakan tugas dari Departemen Agama kesembilan negara Islam (1961), yaitu: Mesir, Saudi Arabia, Syria, Libanon, Yordania, Turki, Irak, Tunisia dan Marokko. Kunjungan ini ditujukan untuk mempelajari pendidikan agama di negara-negara tersebut.

Pada tahun berikutnya (1962), Mahmud Yunus berkesempatan menghadiri sidang Majlis A’la Istisyari Al-Jami’ah Al-Islamiyah di Medinah bulan April 1962 atas undangan Raja Sa’ud yang diterimanya melalui Kedutaan Besar Saudi di Jakarta. Kemudian aktif sebagai peserta Muktamar Buhutsul Islamiyah di Universitas Al-Azhar yang berlangsung di Mesir sebanyak empat kali Muktamar, berturut-turut tahun 1964, 1965, 1966 dan 1967. Dalam Muktamar ini Mahmud Yunus mengemukakan makalah yang berjudul “Al-Israiliyyat fit Tafsir wal Hadits” yang mendapat tanggapan serius dari peserta. Pada tahun 1969, Mahmud Yunus kembali diundang untuk menghadiri Majlis A’la Istisyari Al-Jami’ah Al-Islamiyah di Medinah (Riwayat Hidup, tt ; 73-74).

Aktivitas Mahmud di luar negeri itu telah menjadikan ia semakin menonjol dalam bidangnya, karena didukung dengan pengalaman-pengalaman internasional yang ditimbanya pada aktivitas-aktivitas tersebut.

Karya Tulis

Mahmud Yunus di masa hidupnya dikenal sebagai seorang pengarang yang produktif. Aktivitasnya dalam melahirkan karya tulis tak kalah penting dari aktivitasnya dalam lapangan pendidikan. Popularitas Mahmud lebih banyak dikenal lewat karangan-karangannya, karena buku-bukunya tersebar di setiap jenjang pendidikan khususnya di Indonesia. Buku-buku karangan Mahmud Yunus menjangkau hampir setiap tingkat kecerdasan. Justru karangan-karangannya bervariasi, mulai dari buku-buku untuk konsumsi anak-anak dan masyarakat awam dengan bahasa yang ringan, hingga merupakan literatur pada perguruan-perguruan tinggi.

Pada perjalanan hidupnya, ia telah menghasilkan buku-buku karangannya sebanyak 82 buah buku. Dari jumlah itu Mahmud membahas berbagai bidang ilmu, yang sebahagian besar adalah bidang-bidang ilmu agama Islam, seperti bidang Fiqh, bahasa Arab, Tafsir, Pendidikan Islam, Akhlak, Tauhid, Ushul Fiqh, Sejarah dan lain-lain. Diantara bidang-bidang ilmu yang disebutkan, Mahmud lebih banyak memberi perhatian pada bidang pendidikan Islam, bahasa Arab (keduanya lebih banyak memfokus pada segi metodik), bidang Fiqh, Tafsir dan Akhlak yang lebih memfokus pada materi sajian. Sesuai dengan kemampuan bahasa yang ia miliki, maka karangan-karangannya tidak hanya ditulis dalam bahasa Indonesia, akan tetapi juga dalam bahasa Arab.

Ia memulai mengarang sejak tahun 1920, dalam usia 21 tahun. Karirnya sebagai pengarang tetap ditekuninya pada masa-masa selanjutnya. Dia senantiasa mengisi waktu-waktunya untuk mengarang, dalam situasi apapun. Pada waktu perang kemerdekaan, ketika mengikuti perang gerilya, dia tetap menyempatkan diri untuk mengarang. Buku “Marilah Sembahyang” (4 jilid) adalah merupakan hasil karangan Mahmud sewaktu dia beserta pejuang-pejuang lainnya berada dalam pengungsian dari ancaman perlawanan tentara Belanda (Nica) di Batusangkar pada tahun 1949 (Riwayat Hidup, tt ; 58).

Aktivitas-aktivitas Mahmud dalam bidang-bidang lain tidak merupakan rintangan bagi aktivitasnya dalam mengarang. Hal ini dapat dilihat dari karangan-karangannya yang dihasilkan justru pada saat aktivitasnya yang lain lebih memuncak, terutama dalam bidang pendidikan. Hingga pada saat ia menjalani masa pensiun ia tetap mengarang, bahkan pada tahun-tahun terakhir dari kehidupannya (1982), masih ia sempatkan untuk selalu mengarang. Berikut ini diantara buku-buku karya Mahmud Yunus : (dengan urutan : Judul, tahun terbit, Penerbit, dan tempat terbit)

A. Bidang Pendidikan : (6 karya)

1. Pengetahuan Umum dan Ilmu Mendidik, (tidak teridentifikasi lengkap)
2. Metodik Khusus Pendidikan Agama, 1980, Hidakarya Agung , Jakarta
3. Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia (tidak teridentifikasi lengkap)
4. Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran, 1978, Hidakarya Agung, Jakarta
5. At-Tarbiyyah wa at-Ta’lim, (tidak teridentifikasi lengkap)
6. Pendidikan di Negara-Negara Islam dan Intisari Pendidikan Barat, 1968, Al-Hidayah Jakarta

B. Bidang Bahasa Arab : (15 karya)

7. Pelajaran Bahasa Arab I (tidak teridentifikasi lengkap)
8. Pelajaran Bahasa Arab II (tidak teridentifikasi lengkap)
9. Pelajaran Bahasa Arab III (tidak teridentifikasi lengkap)
10. Pelajaran Bahasa Arab IV (tidak teridentifikasi lengkap)
11. Durusu al-Lughah al-‘Arabiyyah ‘Ala Thariqati al-Haditsah I, tt. CV Al-Hidayah, Jakarta
12. Durusu al-Lughah al-‘Arabiyyah ‘Ala Thariqati al-Haditsah II, tt. CV Al-Hidayah, Jakarta
13. Metodik Khusus Bahasa Arab, tt, CV. Al-Hidayah
14. Kamus Arab Indonesia , 1973, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Jakarta
15. Contoh Tulisan Arab (tidak teridentifikasi lengkap)
16. Muthala’ah wa al-Mahfuzhaat, (tidak teridentifikasi lengkap)
17. Durusu al-Lughah al-‘Arabiyyah I, 1980, PT. Hidakarya Agung Jakarta
18. Durusu al-Lughah al-‘Arabiyyah II, 1980, PT. Hidakarya Agung Jakarta
19. Durusu al-Lughah al-‘Arabiyyah III, 1981, PT. Hidakarya Agung Jakarta
20. Muhadatsah al-‘Arabiyyah (tidak teridentifikasi lengkap)
21. Al-Mukhtaraat li al-Muthala’ah wa al-Mahfuzhhat (tidak teridentifikasi lengkap)

C. Bidang Fiqh : (17 karya)

22. Marilah Sembahyang I, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta
23. Marilah Sembahyang II, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta
24. Marilah Sembahyang III, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta
25. Marilah Sembahyang IV, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta
26. Puasa dan Zakat, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta
27. Haji ke Mekkah, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta
28. HukumWarisan dalam Islam, 1974, CV. Al-Hidayah Jakarta
29. Hukum Perkawinan dalam Islam, 1979, PT, Hidakarya Agung, Jakarta
30. Pelajaran Sembahyang untuk Orang Dewasa, 1980, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
31. Manasik Haji untuk Orang Dewasa (tidak teridentifikasi lengkap)
32. Soal Jawab Hukum Islam (tidak teridentifikasi lengkap)
33. Al-Fiqhu al-Wadhih, juz. 1, 1935, PT Hidakarya Agung, Jakarta
34. Al-Fiqhu al-Wadhih, juz. 2, 1936, PT Hidakarya Agung, Jakarta
35. Al-Fiqhu al-Wadhih, juz. 3, 1937, PT Hidakarya Agung, Jakarta
36. Mabadi`u Fiqhu al-Wadhih (tidak teridentifikasi lengkap)
37. Fiqhu al-Wadhih An-Nawawy (tidak teridentifikasi lengkap)
38. Al-Masailu al-Fiqhiyyah ‘Ala Mazahibu al-Arba’ah (tidak teridentifikasi lengkap)

D. Bidang Tafsir : (15 karya)

39. Tafsir Al-Qur`an Al-Karim (30 juz), (tidak teridentifikasi lengkap)
40. Tafsir Al-Fatihah, 1971, Sa’adiyah Putra, Padang Panjang – Jakarta
41. Tafsir Ayat Akhlak, 1975, CV. Al-Hidayah, Jakarta
42. Juz ‘Amma dan Terjemahannya, 1978, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
43. Tafsir Al-Qur`an Juz 1 – 10 (tidak teridentifikasi lengkap)
44. Pelajaran Huruf Al-Qur`an 1973 (tidak teridentifikasi lengkap)
45. Kesimpulan Isi Al-Qur`an
46. Alif Ba Ta wa Juz ‘Amma (tidak teridentifikasi lengkap)
47. Muhadharaat al-Israiliyyaat fi at-Tafsir wa al-Hadits (tidak teridentifikasi lengkap)
48. Tafsir Al-Qur`an Karim Juz. 11-20 (tidak teridentifikasi lengkap)
49. Tafsir Al-Qur`an Karim Juz. 21-30 (tidak teridentifikasi lengkap)
50. Kamus Al-Qur`an I (tidak teridentifikasi lengkap)
51. Kamus Al-Qur`an II (tidak teridentifikasi lengkap)
52. Kamus Al-Qur`an (juz 1 – 30), 1978, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
53. Surat Yaasin dan Terjemahannya (Arab Melayu), 1977, (tidak teridentifikasi lengkap)

E. Bidang Akhlak : (9 karya)

54. Keimanan dan Akhlak I, 1979, (tidak teridentifikasi lengkap)
55. Keimanan dan Akhlak II, 1979, (tidak teridentifikasi lengkap)
56. Keimanan dan Akhlak III, 1979, (tidak teridentifikasi lengkap)
57. Keimanan dan Akhlak IV, 1979, (tidak teridentifikasi lengkap)
58. Beriman dan Berbudi Pekerti, 1981, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
59. Lagu-Lagu Baru Pendidikan Agama/ Akhlak (tidak teridentifikasi lengkap)
60. Akhlak Bahasa Indonesia (tidak teridentifikasi lengkap)
61. Moral Pembangunan dalam Islam (tidak teridentifikasi lengkap)
62. Akhlak, 1978 (tidak teridentifikasi lengkap)

F. Bidang Sejarah : (5 karya)

63. Sejarah Pendidikan Islam (tidak teridentifikasi lengkap)
64. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 1979, Mutiara, Jakarta
65. Tarikh al-Fiqhu al-Islamy (tidak teridentifikasi lengkap)
66. Sejarah Islam di Minangkabau, 1971, (tidak teridentifikasi lengkap)
67. Tarikh al-Islam, tt, PT. Hidakarya Agung, Jakarta

G. Bidang Perbandingan Agama : ( 2 karya)

68. Ilmu Perbandingan Agama, 1978, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
69. Al-Adyaan, (tidak teridentifikasi lengkap)

H. Bidang Dakwah : (1 karya)

70. Pedoman Dakwah Islamiyyah, 1980, PT. Hidakarya Agung, Jakarta

I. Bidang Ushul Fiqh : (1 karya)

71. Muzakaraat Ushulu al-Fiqh (tidak teridentifikasi lengkap)

J. Bidang Tauhid : (1 karya)

72. Durusu at-Tauhid (tidak teridentifikasi lengkap)

K. Bidang Ilmu Jiwa : ( 1 karya)

73. Ilmu an-Nafs (tidak teridentifikasi lengkap)

L. Lain-Lain : (9 karya)

74. Beberapa Kisah Nabi dan Khalifahnya, 1980, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
75. Doa’-Do’a Rasulullah, 1979, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
76. Pemimpin Pelajaran Agama I, tt. CV. Al-Hidayah, Jakarta
77. Pemimpin Pelajaran Agama II, tt. CV. Al-Hidayah, Jakarta
78. Pemimpin Pelajaran Agama III, tt. CV. Al-Hidayah, Jakarta
79. Kumpulan Do’a, 1976, CV. Al-Hidayah, Jakarta
80. Marilah ke Al-Qur`an, 1971, CV. Al-Hidayah, Jakarta
81. Asy-Syuhuru al-‘Arabiyyah fi Biladi al-Islamiyyah (tidak teridentifikasi lengkap)
82. Khulashah Tarikh al-Ustaz Mahmud Yunus (tidak teridentifikasi lengkap)




dikutip dari © Irhash A. Shamad
gambar: http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Prof._Dr._H._Mahmud_Yunus.jpg

Sejarah Masuknya Islam Ke Minangkabau


Perkenalan pertama Minangkabau dengan Islam, sebagai yang masih diasumsikan, adalah melalui dua jalur yaitu : pertama, pesisir timur Minangkabau atau Minangkabau Timur antara abad ke-7 dan 8 Masehi, kedua, melalui pesisir barat Minangkabau pada abad ke 16 Masehi

Teori jalur timur didasarkan oleh intensifnya jalur perdagangan melalui sungai-sungai yang mengalir dari gugusan bukit barisan ke selat Malaka yang dapat dilayari oleh pedagang untuk memperoleh komoditi lada dan emas. Bahkan diperkirakan sudah ada pedagang-pedagang Arab muslim yang mencapai wilayah pedalaman ini sejak abad ke 7/8 Masehi (lihat : Mansoer,dkk., 1970 : 44-45). Kegiatan perdagangan ini, diperkirakan, adalah awal terjadinya kontak antara budaya Minangkabau dengan Islam. Kontak budaya ini kemudian lebih intensif pada abad ke 13 pada saat mana munculnya kerajaan Islam Samudra Pasai sebagai kekuatan baru dalam wilayah perdagangan selat Malaka. Pada waktu ini,Samudra Pasai bahkan telah menguasai sebagian wilayah penghasil lada dan emas di Minangkabau Timur.

Sedangkan asumsi masuknya Islam melalui pesisir barat didasari oleh intensifnya kegiatan perdagangan pantai barat Sumatera pada abad ke 16 M sebagai akibat dari kejatuhan Malaka ke tangan Portugis. Pada waktu ini, pengaruh kekuasan Aceh Darussalam (pelanjut kekuasan Pasai) sangat besar, terutama pada wilayah pesisir barat Sumatera. Intensifnya pengembangan Islam pada waktu inilah yang --oleh beberapa penelitian,-dijadikan sebagai dasar analisis bagi awal masuknya Islam di Minangkabau dan menghubungkan dengan nama Syekh Burhanuddin Ulakan yang âۉ€Å“oleh beberapa penulis- dianggap sebagai tokoh âہ“pembawaâ€Â Islam pertama ke wilayah ini. Syekh Burhanuddin adalah murid Syekh Abdur Rauf Singkil, ulama tarikat Syatariyah Aceh. Syekh Burhanuddin dikenal sebagai pembawa aliran tarikat Syatariyah ke Minangkabau untuk pertama kalinya. Tarikat ini kemudian berkembang di Minangkabau dengan persebaran surau-surau Syatariyah yang didirikan oleh murid-murid Burhanuddin sendiri. Jalur pengembangan tarikat Syatariah yang berawal dari pesisir barat ini --oleh beberapa penulis-- sering dijadikan titik tolak kajian tentang Islam di Minangkabau, termasuk pengembangannya ke wilayah pedalaman.

Perkembangan agama Islam di Minangkabau abad ke 17 -19 sangat diwarnai oleh aktifitas beberapa ordo Sufi. Diantaranya yang dominan adalah Syatariyah dan Naqsyabandiyah. Tarikat Syathariyah, sebagai yang disebutkan terdahulu, telah menyebar melalui surau-surau yang didirikan oleh murid-murid Syekh Burhanuddin. Di samping Ulakan sendiri, sentra-sentra tarikat inipun kemudian berkembang di pesisir barat Sumatera Barat dan di beberapa wilayah pedalaman Minangkabau.

Perkembangan tarikat Syatariyah di wilayah pedalaman ini, menarik untuk dicermati, karena peran yang dimainkannya dalam melahirkan gagasan-gagasan yang melampaui batas-batas implementasi ajaran sufistik itu sendiri ; suatu perkembangan yang sangat berbeda dengan daerah pesisir barat, dari mana tarikat ini pada awalnya dikembangkan. Para tokoh sufi pedalaman lebih banyak melibatkan diri dengan kehidupan ekonomi masyarakatnya. Keterlibatan mereka inilah yang telah memberi warna tersendiri bagi perkembangan Islam di Minangkabau, bahkan dari sinilah juga, kemudian dalam perkembangannya, telah melahirkan ide-ide pemurnian dan pembaharuan.

Perkembangan aliran sufistik di pedalaman sebagai yang disebutkan, memunculkan asumsi bahwa perkembangan Syatariyah di wilayah pedalaman Minangkabau ternyata melahirkan sintesis-sintesis Islam yang baru sebagai akibat pertemuannya dengan tradisi keislaman yang telah menjadi basis kultural masyarakat di daerah ini, atau mungkin oleh pertemuannya dengan tarikat Naqsyabandiyah, karena tarikat ini juga memperoleh pijakan yang kuat di beberapa daerah pedalaman Minangkabau, bahkan mungkin lebih awal di banding Syathariyah sendiri sebagaimana asumsi yang dikemukakan oleh beberapa penulis (lihat : Dobbin, 1992 :146 ; Azra, 1995 : 291).

Penemuan naskah-naskah keagamaan di Sumatera Barat pada dasa warsa terakhir, menunjukkan kecendrungan beralihnya dominasi jumlah temuan ke wilayah darek (M. Yusuf, 1995), tepatnya bagian timur Sumatera Barat seperti Agam dan 50 Kota. Keadaan ini memberi indikasi baru tentang intensitas pengembangan Islam di Minangkabau melalui jalur perdagangan pesisir timur, karena secara geografis daerah ini lebih dekat dan lebih mudah dijangkau oleh pelayaran dagang di jalur sungai-sungai yang bermuara ke pantai timur Sumatera. Hal yang demikian sekaligus juga akan memperlihatkan satu kemungkinan bagi peran salah satu ordo tarikat (Naqsyabandi) dalam proses perkembangan budaya masyarakat Minangkabau. Kedua indikasi ini paling tidak akan memperkaya temuan tentang jaringan aktifitas intelektual Islam yang selama ini lebih banyak mengungkap tentang besarnya peranan pesisir barat Sumatera dalam penyebaran agama Islam di daerah ini pada tahap awal.

Perkembangan Islam melalui kegiatan sentra-sentra tarikat ini, telah meninggalkan jejaknya melalui naskah-naskah dengan topik-topik yang meliputi hampir semua aspek keislaman. Salah satu kenyataan yang dapat terlihat dari perkembangan sentra-sentra tarikat, baik Syatariyah, maupun Naqsyabandiyah di Minangkabau, ialah praktek pengamalan tasauf dengan menekankan pentingnya syari'ah (Azra, 1995 : 288) dan tidak terdapat indikasi bahwa ajaran tarikat di wilayah ini mengarah pada pantheisme sebagaimana yang terdapat di Aceh pada abad ke 17. Oleh karena itu pemikiran keagamaan yang ditinggalkan oleh kedua aliran tasauf ini tidak hanya berisikan ajaran tasauf semata, akan tetapi meliputi hampir semua cabang ilmu-ilmu keislaman, bahkan upaya pencarian solusi kemasyarakatan dan urusan dunia lainnya memperoleh tempat dalam kajian-kajian mereka, seperti yang dikembangkan oleh Jalaluddin murid Tuanku nan Tuo di wilayah Agam (lihat :Dobbin, 1992:151-152).

Keluasan cakupan implementasi ajaran tasauf di Minangkabau sebagai dikemukakan, memang menarik untuk dikaji, karena kemampuan para tokoh tasauf dalam mentranformasikan inti ajarannya terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan, sehingga keberadaannya sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat termasuk kehidupan ekonomi, terutama di wilayah agraris pedalaman Minangkabau. Perkembangan Islam di sini -dalam perjalanannya memang di warnai oleh berbagai konflik keagamaan seperti yang terlihat dalam beberapa episode kesejarahan dalam abad ke 19 dan 20 dan hal ini sering dipandang sebagai suatu keniscayaan sejarah yang dapat dipahami pada akar kultural masyarakat Minangkabau sendiri. Akan tetapi, keadaan konflik ini juga, justru sekaligus memiliki potensi memunculkan berbagai praksis kultural dalam dinamika perkembangan masyarakatnya. Konflik keagamaan yang terjadi, baik antara Syathariyah dan Naqsyabandiyah, maupun antara Naqsyabandiyah dengan golongan pembaharu, telah melahirkan dinamika polemik pemikiran keagamaan yang berimplikasi terhadap intensitas kegiatan intelektual yang ditandai banyaknya dihasilkan naskah keagamaan. Naskah mana tentu tidak bisa diabaikan dalam melihat berbagai aspek kehidupan keagamaan di daerah ini.

Latar depan fenomena keagamaan abad ke 19 dan ke 20, di saat mana lahirnya gagasan-gagasan awal pembaharuan Islam di Minangkabau, tidak dapat dilepaskan dari fenomena historis yang terjadi sejak abad ke 16 atau mungkin sejak abad ke 13 seperti yang diasumsikan sebagai awal kontak budaya Islam di wilayah ini. Kontak awal Islam ini, demikian juga proses serta bentuk konversi terhadap Islam pada tahap-tahap awal itu, tentu akan menjadi salah satu determinan yang memberi warna terhadap berbagai karakteristik yang muncul dalam perkembangan historis masyarakat di wilayah ini. Akan tetapi beberapa penjelasan sejarah yang banyak ditulis, sering memandang fenomena tersebut dari perspektif sosial struktural semata, sehingga kenyataan historis Islam itu sendiri luput diperhatikan. Apalagi pula kenyataan sumber-sumber yang terbatas serta paradigma sejarah yang barat sentris, menjadikan beberapa dimensi dari pengalaman historis agama ini menjadi terabaikan.

Gerakan pembaharuan Islam di Sumatera Barat dimulai ketika Tuanku Nan Tuo bersama murid-muridnya di surau Koto Tuo mengambil peran pemasyarakatan syari'ah dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat agraris di wilayah pedalaman pada akhir abad ke-18. Gerakan yang merupakan aksi penataan kehidupan masyarakat dengan norma-norma keislaman pada fase pertama ini berjalan tanpa gesekan-gesekan. Namun pada fase kedua lebih meruncing karena menguatnya resistensi kaum adat. Kalangan adat merasa bahwa otoritas mereka terganggu oleh aksi beberapa kalangan ulama murid Tuanku Nan Tuo yang tidak sabar dalam menjalankan aksi syariyyah yang dihadapkan pada praktek-praktek adat yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Pertikaian adat dan agama yang terjadi pada awal abad ke 19 ini, oleh beberapa penulis terutama penulis asing--, dianggap sebagai aksi radikalisme yang dibawa dari pusat agama Islam sendiri. Berbagai interpretasi atas konflik inipun kemudian menjadi bahasan menarik untuk memberikan gambaran “kelabu seba-gai militansi golongan Islam dalam masyarakat Minangkabau, sebagaimana kita saksikan pada akhir tahun 2007 yang lalu.

Pertikaian adat dan agama yang terjadi di wilayah pedalaman pada paruh pertama abad ke-19 menjadi jalan masuk bagi Belanda ke wilayah ini. Belanda, pada waktu sebelumnya hanya dapat menguasai wilayah pesisir karena kuatnya pertahanan wilayah pedalaman di bawah kaum agama, namun dengan politik belah bambu, Belanda mencoba memanfaatkan kedekatannya dengan kaum aristokrasi adat untuk secara berangsur-angsur menguasai wilayah-wilayah mereka sambil menekan golongan Islam. Kaum agama yang telah menguasai banyak nagari di wilayah pedalaman berusaha mempertahankan wilayah mereka dari intervensi asing. Ketika tujuan apa yang ada dibalik kerjasama Belanda dengan aristokrasi adat disadari, maka perjuangan kaum agama ini beralih menjadi perlawanan terhadap penjajahan (disebut : Perang Paderi).

Selain itu, gerakan keagamaan yang telah berlangsung pada peralihan abad ke-18 dan ke-19 juga diwarnai dengan konflik keagamaan antara Syathariyah dan Naqsyabandiah. Setelah berakhirnya Perang Paderi 1837, perdebatan internal seputar paham tarikat ini ternyata tidak makin mereda, meski perhatian pada perbedaan pendapat itu teralihkan pada saat menghadapi musuh bersama. Polemik keagamaan ini kembali meruncing dan bahkan berimplikasi terhadap tumbuhnya motivasi sebagian masyarakat untuk berangkat ke Mekkah memperdalam pengetahuan agama Islam sambil menunaikan ibadah Haji. Kontak kedua kalangan ulama Minangkabau dengan Timur Tengah ini telah membawa pemikiran-pemikiran keagamaan yang sangat berpengaruh bagi perubahan-perubahan sosial di Minangkabau pada waktu-waktu berikutnya.

Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, salah seorang putera Minangkabau yang tidak merasa betah dengan kondisi sosial di daerah kelahirannya ini, mencoba untuk menetap di Mekkah dalam rangka mendalami ilmu-ilmu agama. Ketekunan serta tekadnya yang kuat menyebabkan Ahmad Khatib akhirnya mampu berdiri sejajar dengan ulama-ulama Timur Tengah lainnya, bahkan, dialah ulama asing pertama yang mampu menduduki posisi Mufti mazhab Syafiâۉ„¢i di Mekkah. Banyak kalangan ulama Indonesia yang belajar ke pusat Islam ini dikader langsung oleh Ahmad Khatib sendiri. Kepulangan murid-murid Ahmad Khatib ke Indonesia inilah, --menurut banyak kalangan--, telah memberikan kontribusi bagi pembaharuan keagamaan tahap kedua serta tumbuhnya pemikiran kebangsaan yang menjadi pemicu perlawanan terhadap kolonialisme di Indonesia pada awal abad ke-20.

Munculnya generasi baru intelektual Islam Minangkabau pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 ini ternyata mampu menjadi penyeimbang aksi politik etis Belanda yang telah memperluas jalur pendidikan barat bagi masyarakat pribumi. Surau-surau yang menjadi sentra pendidikan anak nagari di Minangkabau memperoleh nafas baru untuk bangkit bersaing dengan sistem pendidikan barat.

Namun, seiring dengan kembalinya generasi baru intelektual Islam yang belajar di Timur Tengah ini ke Minangkabau, tercipta pula sebuah dinamika konflik keagamaan baru yang dipicu oleh munculnya pemikiran baru seputar keterikatan kepada mazhab dan kebolehan berijtihad. Konflik internal kedua ini lebih dikenal dalam sejarah dengan polemik Kaum Tua dan Kaum Muda. Persoalan pertama yang menjadi tema perdebatan kaum ulama ini adalah masalah praktek pengamalan tarikat Naqsyabandiyah yang oleh sebagian ulama pembaharu dianggap banyak yang keluar dari ajaran Islam yang sebenarnya, seperti praktek wasilah yang dianggap tidak sesuai dengan sunnah (Hamka, 1967:79). Persoalan ini kemudian berkembang kepada masalah yang menyangkut kebolehan ijtihad serta perbedaan pendapat tentang masalah-masalah lainnya.

Ulama-ulama kedua golongan ini pada dasarnya adalah produk Timur Tengah dan hampir semuanya adalah murid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy.
Dari konflik yang muncul ini dapat diasumsikan dua hal : pertama : Ahmad Khatib dalam halaqah pengajian yang diberikan kepada murid-muridnya sewaktu belajar di Timur Tengah, tidak atau belum menyentuh persoalan-persoalan yang menyangkut masalah ijtihad, namun ia tidak melarang sekaligus juga tidak menganjurkan murid-muridnya untuk belajar ke Mesir, di mana gagasan awal pembaharuan Islam ini tumbuh dan berkembang. Kedua : Latar belakang kultural masyarakat Minangkabau yang memelihara konflik sebagai sebuah dialektika dalam rangka melahirkan sintesis pemikiran pemikiran yang dinamis dan progresif. Bagi masyarakat Minangkabau, dinamika konflik diperlukan dan dipelihara agar kehidupan itu tidak menjadi statis, dan pengalaman sejarah juga telah mengajarkan bahwa dinamika konflik di Minangkabau tidaklah mengarah pada disintegrasi. Sebaliknya situasi konflik berpotensi dalam melahirkan tokoh-tokoh Minangkabau pada masa-masa selanjutnya, sebagaimana sejarah masyarakat ini telah membuktikannya. Tokoh pembaharuan keagamaan awal semisal Tuanku Nan Tuo yang alim dan bijaksana sekaligus pedagang ulet berhasil menjadikan hukum Islam sebagai landasan kehidupan masyarakat di pedalaman. Surau Tuanku Nan Tuo banyak melahirkan murid yang alim seperti yang kemudian dikenal dengan Syekh Jalaluddin Faqih Shaghir, atau yang cendikia namun tegas seperti Tuanku nan Renceh, demikian juga murid yang memiliki semangat juang membara semisal Tuanku Imam Bonjol dan banyak yang lainnya. Mereka ini tentulah merupakan produk situasi Minangkabau akhir abad ke 18. Pada akhir abad ke 19 muncul pula tokoh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, yang juga berasal dari daerah pedalaman. Tokoh ini tak kalah penting dari yang disebut terdahulu ; dari halaqahnya telah muncul ulama-ulama kharismatis dan piawai semisal H.M. Thaib Umar, H. Abdul Karim Amarullah, H. Abdullah Ahmad, Syekh Jamil Jambek. Theher Jalaluddin, dan lain-lainnya.

Pendek kata, situasi Minangkabau dengan keunikan kulturalnya telah melahirkan banyak tokoh intelektual dan pejuang yang responsif terhadap berbagai persoalan sosial yang dihadapi di zamannya ; tokoh wanita semisal Rohana Kudus, Siti Manggopoh, Rahmah el-Yunusiyyah, Ratna Sari, dan lain-lain dari kalangan wanita di negeri ini, demikianpun di bidang politik kenegaraan seperti Syahrir, Mohammad Yamin, H. Agus Salim, Natsir, Hamka dan lainnya yang terlalu banyak untuk disebut satu persatu. Setidaknya sampai zaman kemerdekaan tokoh-tokoh dalam berbagai bidang telah terlahir dari ranah Minang ini.

Dari catatan sejarah setelah kemerdekaan, kita menyaksikan suatu perubahan yang cendrung memperlihatkan gejala penurunan yang drastis yaitu tidak banyaknya muncul tokoh intelektual sebagaimana waktu sebelumnya. Hingga masa akhir Orde Baru, produk intelektual Minangkabau semakin tidak banyak yang mampu mewarnai khazanah pemikiran di negeri ini, gagasan-gagasan segar dari kalangan intelektual, politisi dan ulama tidak lagi menggema di seantero nusantara ini. Demikian juga dalam bidang pendidikan Islam,--setidaknya dalam tiga dasa warsa terakhir--, madrasah-madrasah jelmaan dari surau-surau yang dulunya didatangi oleh murid dari berbagai pelosok tanah air, untuk sebahagian hanya tinggal nama. Banyak madrasah yang sudah kehilangan tokoh kharismatis, akibat mandegnya proses regenerasi di kalangan mereka. Inilah realitas Minangkabau hingga waktu ini.


sumber

Sejarah Tulisan : Asal Usul Tulisan Arab

Perjalanan panjang tulisan phonetis yang berawal dari daerah yang pertama menggunakan alphabet, pada dasarnya telah menjadikan tulisan ini terbuka bagi perubahan dan pembaharuan secara luas. Perubahan dan pembaharuan bentuk pola perlambangan, biasanya sangat ditentukan oleh kenyataan bahwa perlambangan yang didasarkan pada bunyi ucapan (phonetic) lebih leluasa untuk digunakan kepada bentuk-bentuk yang bervariasi serta disesuaikan dengan kondisi dan tempat di mana ia dikembangkan.

Rumpun Sinai dan Tulisan Semit Utara
Pada tulisan terdahulu telah dikemukakan bahwa alphabet Sinai telah memperlihatkan perkembangannya di dua tempat yaitu jazirah Arab bagian utara, Asia Kecil dan jazirah Arab bagian selatan. Perkembangan alphabet Sinai ke bagian utara memunculkan beberapa tulisan yang digunakan oleh mayoritas masyarakat pesisir Laut Tengah seperti tulisan Ibrany dan Siryani, di jazirah Arab belahan utara lahir pula tulisan Tadmury dan tulisan Nabthy dari rumpun tulisan Aramia. Bahkan menurut sementara ahli tulisan Devanagari kuno yang digunakan oleh masyarakat Asia Selatan (India) juga berasal dari rumpun alphabet Semit utara ini. Tulisan Devanagari ini berkembang bersama agama Budha ke beberapa wilayah di kawasan Asia selatan dan tenggara. Istilah Semit Utara di sini digunakan untuk menyebut tulisan-tulisan yang berkembang dari alphabet Sinai. Sementara perkembangan rumpun alphebet Sinai di bagian utara ini diperkirakan adalah tulisan Aramia (Aramaic) atau tulisan yang digunakan di Palestina, Syria dan Iraq. Akan tetapi kita tidak menggunakan istilah Aramia, karena Aramia bukan satu-satunya terminal bagi perkembangan di utara ini.

Orang-orang Nabthy (Nabatean), walaupun pada abad-abad sebelum Masehi di bawah pengaruh Romawi, malah orang-orang Nabthy ikut melakukan invasi ke wilayah Arab, namun secara kultural dan geografis, mereka sebenarnya termasuk suku bangsa Arab asli (Arab Baidah). Mereka pada awalnya adalah sekelompok imigran yang datang dari Transyordania dan menempati wilayah Edomite, Petra. Dari sini mereka meluaskan kekuasaan ke wilayah-wilayah lainnya. Sehingga bangsa Nabthy menjadi sebuah kekuasaan besar yang disebut dengan Kerajaan Anbath. Kerajaan ini memperoleh kejayaan di masa pemerintahan dipegang oleh Haritsats (tahun 9 sM.-40 M.) Pada saat ini kekuasaan mereka makin meluas bahkan hampir mencakupi seluruh dataran jazirah Arabia. Kerajaan Anbath di puncak kejayaannya telah meninggalkan warisan-warisan budaya yang bernilai tinggi. Ini dapat dilihat dari bekas-bekas peradaban Anbath yang terdapat di kota Petra, seperti bangunan-bangunan megah dan spektakuler yang menggambarkan bahwa Petra, sebagai pusat kekuasaan dan sekaligus pusat peradaban Anbath, telah maju dalam berbagai lapangan. Hal yang lebih penting dari itu bagi kita ialah bahwa kebudayaan Nabthy telah ikut berperan dalam membidani kelahiran tulisan Arab.

Orang-orang Nabthy dalam pergaulan sehari-hari menggunakan bahasa Arab, akan tetapi huruf-huruf yang mereka gunakan lebih cendrung berkarakter Aramia. Bentuk-bentuk yang mereka kembangkan ini akhirnya melahirkan suatu jenis tulisan sendiri yang kemudian dikenal dengan tulisan Nabthy. Pada abad pertama Masehi, saat kerajaan ini meluas secara pesat, semua hasil budaya mereka ikut memperoleh perkembangan. Tulisan Nabthy digunakan secara resmi di hampir seluruh wilayah kekuasaannya.

Tulisan Arab Selatan
Di wilayah-wilayah kerajaan Arab selatan, seperti kerajaan Saba’, Minaiyah, Himyar dan Yaman, semenjak waktu yang lama telah menggunakan sejenis tulisan yang berbeda dengan tulisan yang berkembang di jazirah Arab bagian utara, meskipun wilayah selatan ini juga mendapatkan pengaruh dari alphabet Sinai seperti telah diuraikan terdahulu. Tulisan ini kemudian dikenal dengan tulisan Musnad. Dari beberapa penelitian yang dilakukan, telah disimpulkan bahwa tulisan Musnad telah berkembang secara luas pada masyarakat Arab kuno di wilayah-wilayah yang membentang antara Yaman dan Syria di belahan utara jazirah ini. Ini dibuktikan dengan beberapa penemuan tertulis di daerah Delos (Yunani) dan Gaza, Mesir yang juga menggunakan tulisan yang mirip dengan tulisan Musnad (lihat : Zainuddin,1974:297 ; Abu Shalih Alfi (tt):20). Perkembangan ini terlihat pada beberapa cabang tulisan yang muncul mengikuti karakter tulisan Musnad, seperti pada tulisan yang digunakan oleh Bani Lahyan di bagian utara Makkah, tulisan yang digunakan oleh masyarakat Diyar Tsamud sekitar tahun 715 sM. Dan di wilayah bukit Shafa (bagian dari pegunungan Druze) di timur negeri Syam (Syria sekarang).

Ketiga tulisan yang merupakan perkembangan dari tulisan Musnad ini kemudian dinamai masing-masing dengan Lihyani, Tsamudy, dan Shafawy. Akan tetapi tidak diketahui perkembangan lebih lanjut dari ketiga jenis tulisan itu.

Penggabungan Tulisan-Tulisan Semit
Dari uraian di atas kita simpulkan bahwa di wilayah jazirah Arab setidaknya terdapat dua jenis tulisan yang berpengaruh secara dominan, yaitu : tulisan Nabthy dari kelompok tulisan Semit utara dan tulisan Musnad dari jazirah Arab selatan. Hal yang selalu menjadi perdebatan bagi kalangan ahli ialah : mana di antara kedua tulisan itu yang lebih berperan dalam pembentukan tulisan Arab seperti yang berkembang hingga saat ini Beberapa ahli tentang Arab selatan (Klasser, Neckel, dan Homel) cendrung berpendapat bahwa tulisan Musnad adalah bentuk tulisan Arab tertua ( Zainuddin, 1974). Flinder Patri alam tulisannya The Formation of The Alphabet (1912), malah berkesimpulan sebaliknya. Ia mengatakan bahwa tulisan Arab bukan berasal dari tulisan Musnad, karena tulisan Musnad telah musnah setelah perkembangannya di Himyar. Sejarawan muslim seperti Ibnu Khaldun dan Ibnu Khallikan sepakat mengatakan bahwa Musnad adalah asal-usul tulisan Arab (Ibnu Khaldun,1957:418; Ibnu Khallikan,1948:346).

Semenjak beberapa abad sebelum Masehi kota Hirah telah berperan besar dalam pengembangan tulisan-tulisan Semit. Di kota ini telah berkembang beberapa jenis tulisan yaitu : tulisan Nabthy, dari kelompok tulisan Aramia, tulisan Kindy yang berasal dari kota Kindah (selatan kota Hirah), dan tulisan Strangeli. Tulisan yang disebutkan terakhir ini adalah perkembangan dari tulisan Siryani. Peran yang lebih besar telah diberikan oleh kerajaan Anbath pada waktu Hirah menjadi wilayah kekuasaan kerajaan itu. Tulisan Nabthy sangat umum dipakai oleh orang-orang Hirah dibanding dengan tulisan-tulisan lainnya. Menurut beberapa peneliti Arab, perkembangan tulisan Musnad di Himyar, kemudian di bawa ke Hirah pada masa kerajaan Manazirah (268 – 628 M.). Semenjak waktu inilah bergabungnya pemakaian Musnad, Nabthy, Kindy dan Strangeli di kota Hirah.

Pengenalan Tulisan oleh Orang Hijaz
Pada abad- abad sebelum kelahiran agama Islam, di wilayah Hijaz, pemakaian tulisan boleh dikatakan tidak umum. Orang Hijaz tidak mementingkan komunikasi tulis, tetapi lebih mengutamakan kefasihan lidah dan kekuatan hafalan. Pewarisan informasi di kalangan dan antar kabilan Arab disampaikan melalui penuturan lisan, demikianpun tradisi tutur dipelihara dalam hafalan-hafalan mereka. Oleh karena itu di wilayah ini tidak banyak di temukan peninggalan-peninggalan tertulis.

Dari periwayatan yang kita terima tentang kehidupan masyarakat Arab pra-Islam antara lain ialah adanya suatu tradisi bertutur sejenis Pekan Raya Sastra (sauq). Pekan Raya ini merupakan ajang pertemuan para sastrawan untuk saling mengadu kekuatan hafalan serta kefasihan lidah mereka. Kegiatan ini dilaksanakan sekali dalam setahun dan diikuti oleh utusan kabilah-kabilah setempat. Tempat penyelenggaraan kegiatan ini antara lain yang lebih populer, yaitu di Ukaz dan dikenal dengan Sauq al-‘Ukaz, juga ditempat-tempat lainnya seperti Zulmajaz dan al-Majanah.

Hal yang perlu kita catatkan dari tradisi ini ialah bahwa setiap syair yang dianggap terbaik akan memperoleh penghargaan untuk “digantung” di Ka’bah setelah terlebih dahulu “ditulis dengan tinta emas”. Karya terbaik itu disebut dengan al-Mu’allaqat atau al-Muzahhabat. Akan tetapi fakta tentang kemajuan tradisi menulis di kalangan bangsa Arab pada waktu ini kurang mendukung, karena disamping tidak ditemukan nya manuskrip asli mu’allaqat itu juga karena ketiadaan sumber-sumber tertulis sejenis yang ditemukan di wilayah Hijaz ini. Kenyataan ini menjadi lebih sukar untuk melakukan identifikasi jenis dan bentuk tulisan yang digunakan, demikianpun untuk menentukan kapan tradisi menulis ini bermula di wilayah Hijaz dan dari tulisan apa ia mendapat pengaruh. C. Israr (1985:42) mengemukakan bahwa tulisan yang digunakan untuk penulisan al-mu’allaqat ialah tulisan jenis Nabthy yang berbentuk murabba’ (persegi). Namun fakta ini sedikit membingungkan karena jenis murabba’ yang huruf-hurufnya berkarakter persegi atau disebut juga dengan muzawwa adalah turunan dari tulisan Strangeli yang berasal dari Siryani (yang juga berkembang di Hirah). Sedangkan Nabthy lebih cendrung berkarakter bundar (mudawwar/ muqawwar).

Suatu hal yang agaknya telah disepakati oleh para ahli bahwa tulisan yang digunakan oleh orang Hijaz adalah berasal dari Hirah. Pada bagian terdahulu telah dikemukakan bahwa Hirah adalah terminal bagi beberapa jenis tulisan Semit, baik Semit utara maupun Semit selatan. Suatu riwayat yang dikemukakan oleh al-Baladzury agaknya juga tidak banyak membantu, karena ia hanya lebih menekankan pada tokoh yang membawa tulisan dari Hirah ke Hijaz tanpa keterangan tentang jenis tulisan yang dibawa. Al-Baladzury mengemukakan bahwa salah seorang kerabat dekat penguasa Daumatul Jandal Bernama Bisyr bin Abd. Malik al-Kindy telah belajar tulisan di Hirah. Beberapa waktu kemudian ia ke Makkah. Kepandaian menulis yang dimiliki oleh Bisyr ini kemudian mendapat perhatian dari Syofyan bin Umayyah dari suku Quraisy (Zainuddin,1974:306). Dengan demikian Bisyr dianggap sebagai orang pertama yang mengajari orang-orang Makkah menulis dan membaca, malah ia juga telah mengajari orang-orang Thaif, Diyar Mudhar dan Syam. Dari apa yang dikemukakan dapat diketahui bahwa orang-orang Makkah baru mengenal tulisan pada sekitar akhir abad ke 6 Masehi (semasa dengan Syofyan bin Umayyah).

Beberapa penemuan tertulis (inskripsi) yang dijumpai di berbagai tempat di luar wilayah Hijaz seperti di Ummul Jamal dan an-Namarah. Inskripsi yang ditemukan di Ummul Jamal (Syria) menggunakan tulisan Nabthi Mutaakhir dengan bahasa Nabthy Aramia serta memuat informasi tentang wafatnya raja Tanukh : Fihr bin Sala. Inskripsi ini diperkirakan ditulis pada tahun 250 M. Sedangkan inskripsi yang ditemukan di daerah Nammarah (Hurran/Syria) berisi tentang Imriil Qys, raja Arab dan tentang kabilah Nazar dan Usad. Inskripsi Nammarah menggunakan bahasa Arab (lahjah Quraisy) dan diperkirakan menggunakan jenis tulisan Nabthy Mutaakhir dan ditulis sekitar tahun 228 M.(Zainuddin,1974: 304). Demikianpun inskripsi Hijr Zabad yang ditemukan di daerah Khirbah (Zabad) yang menggunakan bahasa Yunani, Siryani dan Nabthi Mutaakhir (Arab kuno) diperkirakan ditulis pada tahun 511 M., dan inskripsi Houran yang terletak di pintu sebuah geraja di Luja yang ditulis dengan Naskhi kuno pada tahuan 568/9 M. Mengamati tulisan yang terdapat pada inskripsi-inskripsi tersebut dapat diperkirakan bahwa tulisan Arab berakar pada jenis tulisan itu, karena kemiripan huruf-hurufnya dengan tulisan Arab yang ada sekarang.

Bila inskripsi Ummul Jamal dan an-Namarah adalah bukti bagi perluasan dan perkembangan tulisan-tulisan yang terdapat di Hirah pada abad ke-3 M., maka dengan itu dipahami bahwa Hijaz pada waktu itu terlepas dari jangkauan perkembangan tulisan-tulisan Hirah. Hal itu tentunya bila riwayat Bisyr bin Abd. Malik yang dikemukakan terdahulu diterima sebagai titik bermulanya pengenalan tulisan oleh orang-orang Makkah. Sampai saat ini belum kita dapatkan keterangan yang lebih pasti tentang kapan dimulainya penggunaan tulisan di Makkah sendiri atau dengan kata lain kapan orang-orang Quraisy mulai mengenal tulisan. Namun demikian keterangan-keterangan tentang pengaruh Hirah bagi perkembangan tulisan-tulisan di wilayah Hijaz (Makkah dan Madinah) agaknya tidak perlu diragukan lagi.

Peninggalan-peninggalan tertulis dari masa-masa awal Islam seperti coretan-coretan yang ditemukan di bukit Sala (Madinah), demikianpun inskripsi yang terdapat pada dam (bendungan) yang dibangun oleh Mu’awiyyah dan beberapa surat Rasulullah kepada raja-raja di sekitarnya, telah pula memperkuat dugaan tentang pengaruh Hirah bagi pertumbuhan tulisan Arab hingga ke masa awal Islam.
Wallahu a’lam bish-shawab.




Dikutip dari © Irhash A. Shamad

Zakiah Daradjat: Rang Ampek Angkek Yang Jadi Pakar Psikologi Islam dan Tokoh Pendidikan Nasional

Kampung Koto Merapak kecamatan Ampek Angkek, Bukit Tinggi pada tahun tiga puluhan merupakan sebuah wilayah damai dan religius. Orang-orang menjalani hidupnya dengan perasaan aman, tanpa ada perasaan takut maupun khawatir terhadap kejahatan apapun. Jika tiba waktu sholat, orang bergegas pergi ke masjid menunaikan kewajibannya sebagai muslim. Begitu aman dan religiusnya, sehingga penduduk kampung ini dengan tenang tanpa rasa khawatir sedikitpun dapat meninggalkan rumahnya, meskipun tidak dikunci.

Zakiah Daradjat dilahirkan di kampung Kota Merapak, kecamatan Ampek Angkek, Bukit Tinggi, pada tanggal 6 November 1929. Anak sulung dari pasangan suami istri Daradjat ibn Husein, bergelar Raja Ameh (Raja Emas) dan Rapi’ah binti Abdul Karim, sejak kecil tidak hanya dikenal rajin beribadah, tetapi juga tekun belajar. Kedua orangtuanya dikenal aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial. Ayahnya dikenal aktif di Muhammadiyah, sedangkan ibunya bergiat di Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).

Sebagaimana umumnya masyarakat Minang, kehidupan keagamaan mendapat perhatian serius di lingkungan keluarganya. Keluarga Zakiah sendiri bukan dari kalangan ulama atau pemimpin agama. Kakek Zakiah dari pihak ayah menjabat sebagai Kepala Nagari dan dikenal sebagai tokoh adat di Lambah Tigo Patah Ampek Angkek Candung. Kampung Koto Merapak sendiri pada dekade 30-an dikenal sebagai kampung relijius. Zakiah menuturkan, “jika tiba waktu shalat, masyarakat kampung saya akan meninggalkan semua aktivitasnya dan bergegas pergi ke masjid untuk menunaikan kewajibannya sebagai muslim.” Pendeknya, suasana keagamaan di kampung itu sangat kental.

Dengan suasana kampung yang relijius, ditambah lingkungan keluarga yang senantiasa dinafasi semangat keislaman, tak heran jika sejak kecil Zakiah sudah mendapatkan pendidikan agama dan dasar keimanan yang kuat. Sejak kecil Zakiah sudah dibiasakan oleh ibunya untuk menghadiri pengajian-pengajian agama. Pada perkembangannya, Zakiah tidak sekedar hadir, kadang-kadang dalam usia yang masih belia itu, Zakiah sudah disuruh memberi ceramah agama.





Latar Belakang Pendidikan Zakiah Daradjat

Pada usia enam tahun, Zakiah sudah mulai memasuki sekolah. Pagi belajar di Standaardshool (Sekolah Dasar) Muhammadiyah, sementara sorenya mengikuti sekolah Diniyah (sekolah dasar khusus agama). Hal ini dilakukan karena ia tidak mau hanya menguasai pengetahuan umum, ia juga ingin paling tidak mengerti masalah-masalah dan memahami ilmu-ilmu keislaman. Setelah menamatkan sekolah dasar, Zakiah melanjutkan ke Kulliyatul Muballighat di Padang Panjang.

Seperti halnya ketika duduk di sekolah dasar, sore harinya Zakiah juga mengikuti kursus di SMP. Namun, pada saat duduk di bangku SMA, hal yang sama tidak bisa lagi dilakukan oleh Zakiah. Ini karena lokasi SMA yang relatif jauh dari kampungnya, yaitu di Bukit Tinggi. Kiranya dasar-dasar yang diperoleh di Kulliyatul Mubalighat ini terus mendorongnya untuk berperan sebagai muballighah hingga sekarang.

Pada tahun 1951, setelah menamatkan SMA, Zakiah meninggalkan kampung halamannya untuk melanjutkan studinya ke Yogyakarta. Di kota pelajar itu, Zakiah masuk fakultas Tarbiyah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Di samping di PTAIN Zakiah juga kuliah di fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Akan tetapi, Kuliahnya di UII harus berhenti di tengah jalan.

Kemudian pada tahun 1956, Zakiah bertolak ke Mesir dan langsung diterima (tanpa tes) di Fakultas Pendidikan Universitas Ein Shams, Kairo, untuk program S2. Zakiah berhasil meraih gelar MA dengan tesis tentang problema remaja di Indonesia pada tahun 1959 dengan spesialisasi Mental-Hygiene dari Universitas Ein Shams, setelah setahun sebelumnya mendapat diploma pasca sarjana dengan spesialisasi pendidikan dari universitas yang sama. Selama menempuh program S2 inilah Zakiah mulai mengenal klinik kejiwaan. Ia bahkan sudah sering berlatih praktik konsultasi psikologi di klinik universitas.

Setelah meraih MA, Zakiah tidak langsung pulang, tetapi Zakiah menempuh program S3 di universitas yang sama. Ketika menempuh program S3 kesibukan Zakiah tidak hanya belajar. Pada tahun 1964, dengan disertasi tentang perawatan jiwa anak, Zakiah berhasil meraih gelar doktor dalam bidang Psikologi dengan spesialisasi kesehatan mental dari universitas Ein Shams.


Perjalanan Karir Zakiah Daradjat

1 November 1964 Pegawai bulanan Organik, sebagai Ahli Pendidikan Agama, di Departemen Agama (Depag) Pusat.
10 Agustus 1965 Pegawai Negeri Sementara Ahli Pendidikan Agama, Depag.
September 1965 Ahli Pendidikan Agama Tk. I di Depag.
28 Maret 1967 Kepala Dinas Penelitian dan Kurikulum pada Direktorat Perguruan Tinggi Agama dan Pesantren Luhur. Pangkat: Ahli Pendidikan Agama Tk. I, Depag.
25 September 1967 Pegawai Tinggi Agama pada Diperta dan Pesantren Luhur, Depag.
17 Agustus 1972 Direktur Pendidikan Agama, Depag.
28 Oktober 1977 Direktur Perguruan Tinggi Agama, Depag.
1 Oktober 1982 Diangkat sebagai Guru Besar IAIN Jakarta.
30 Mei 1985 Anggota Dewan Guru Besar, Depag.
30 Oktober 1984 Dekan Fakultas Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
1983-1988 Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA), periode 1983-1988.
25 November 1994 Anggota Dewan Riset Nasional.
1992-1997 Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), periode 1992-1997.


Aktivitas dalam Lembaga/Organisasi

1970 Salah seorang pendiri dan ketua “Lembaga Pendidikan Kesehatan Jiwa, Universitas Islam Jakarta”.
1970-1974 Andalan Nasional Kwartir Pramuka.
1975 Anggota Pacific Science Association
1978 Okt-1979 Mei Anggota Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional.
1981-1983 Anggota Dewan Siaran Nasional.
1983 – ? Pendiri dan Ketua “Yayasan Pendidikan Islam Ruhama”, Jakarta.
1990 – ? Salah seorang pendiri dan ketua “Yayasan Kesehatan Mental Bina Amaliah”, Jakarta.
1969-- ? Kuliah Subuh RRI
1969 – ? Pembicara dalam Mimbar Agama Islam di TVRI.


Tanda Penghargaan/Penghormatan Zakiah Daradjat
Desember 1965 Medali Ilmu Pengetahuan dari Presiden Mesir (Gamal Abdul Naser) atas prestasi yang dicapai dalam studi/ penelitian untuk mencapai gelar doktor. Diterima dalam Upacara “Hari Ilmu Pengetahuan”.
10 Oktober 1977 Tanda kehormatan “Orde of Kuwait Fourth Class” dari pemerintah kerajaan Kuwait (Amir Shabah Sahir As-Shabah) atas perayaannya sebagai penerjemah bahasa Arab, dalam kunjungan kenegaraan Presiden Soeharto.
16 Oktober 1977 Tanda Kehormatan Bintang “Fourth Class Of The Order Mesir” dari presiden Mesir (Anwar Sadat) atas perayaannya sebagai penerjemah bahasa Arab, dalam kunjungan kenegaraan Presiden Soeharto.
23 Juli 1988 Piagam penghargaan Presiden RI Soeharto atas peran dan karya pengabdian dalam usaha membina serta mengembangkan kesejahteraan kehidupan anak Indonesia dalam rangka hari anak nasional di Jakarta.
1990 Tanda Kehormatan Satya Lancana karya satya tingkat I.
17 Agustus 1995 Tanda kehormatan Bintang Jasa Utama sebagai tokoh wanita/Guru Besar fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
1996 Tanda Kehormatan Satya Lancana karya satya 30 tahun atau lebih.
19 Agustus 1999 Tanda Kehormatan Bintang Jasa Putera Utama sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia.


Hasil Karya Zakiah Daradjat
Dalam masa aktif di Departemen Agama, Zakiah Daradjat mulai menulis buku di samping mengajar. Karya-karya atau buku karangan Zakiah kebanyakan merupakan kumpulan tulisan yang diangkat dari kuliah-kuliah dan ceramah-ceramahnya. Selain menulis buku, Zakiah juga giat menerjemahkan buku. Buku yang diterjemahkannyapun berkisar kepada masalah-masalah psikologi.

a. Penerbit PT Bulan Bintang

1) Karangan Sendiri
a) Ilmu Jiwa Agama, 1970
b) Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental,1970
c) Problema Remaja di Indonesia, 1974
d) Perawatan Jiwa untuk Anak-Anak, 1982
e) Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia, 1971
f) Perkawinan yang Pertanggung Jawab, 1975
g) Islam dan Peranan Wanita, 1978
h) Peranan IAIN dalam Pelaksanaan P4, 1979
i) Pembinaan Remaja, 1975
j) Ketenangan dan Kebahagiaan dalam Keluarga, 1974
k) Pendidikan Orang Dewasa, 1975
l) Menghadapi Masa Menopouse, 1974
m) Kunci Kebahagiaan, 1977
n) Membangun Manusia Indonesia yang Bertakwa kepada Tuhan YME, 1977
o) Kepribadian Guru, 1978
p) Pembinaan Jiwa/Mental, 1974
2) Terjemahan
a) Pokok-Pokok Kesehatan Mental, 1974
Judul Asli : Usus-Shihah an-Nafsiyah
Pengarang : Prof. Dr. Abdul Aziz El-Quusy
b) Ilmu Jiwa; Prinsip-prinsip dan Implementasinya dalam Pendidikan, 1976
Judul Asli : Ilmu-Nafsi, Ususuhu wa Tathbiqatuhu Fit-Tarbiyah
Pengarang : Prof. DR. Abdul Aziz El-Quusy
c) Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat, 1977
Judul Asli : As-Shihah an-Nafsiyah
Pengarang : Prof. Dr. Mustafa Fahmi
d) Bimbingan Pendidikan dan Pekerjaan, 1978
Judul Asli : At-Taujih at-Tarbawy wal-Mihany
Pengarang : Prof. Dr. Attia Mahmoud Hana
e) Anda dan Kemampuan Anda, 1979
Judul Asli : Your Abilites
Pengarang : Virgina Bailard
f) Pengembangan Kemampuan Belajar pada Anak-anak, 1980
Judul Asli : Improving Children’s Ability
Pengarang : Harry N. Rivling
g) Dendam Anak-Anak, 1980
Judul Asli : Understanding Hostility in Children
Pengarang : Prof. Dr. Mustafa Fahmi
h) Anak-Anak yang Cemerlang, 1980
Judul Asli : Helping The Gifted Children
Pengarang : Prof. DR. Paul Wetty
i) Mencari Bakat Anak-Anak, 1982
Judul Asli : Exploring Children’s Interests
Pengarang : G.F. Kuder/ B.b. Paulson
j) Penyesuaian Diri, Pengertian dan Peranannya dalam Kesehatan Mental, jilid I-II, 1982
Judul Asli : At-Takayyuf an-Nafsy
Pengarang : Prof. Dr. Mustafa Fahmi
k) Marilah Kita Pahami Persoalan Remaja, 1983
Judul Asli : Let’s Listen to Youth
Pengarang : H. H. Remmers/ C. G. Hacket
l) Membantu Anak Agar Sukses di sekolah, 1985
Judul Asli : Helping Children Get Along In School
Pengarang : Goody Koonzt Bess
m) Anak dan Masalah Seks,1985
Judul Asli : Helping Children Understand Sex
Pengarang : Lester A. Kirkendall
b. Penerbit Gunung Agung1) Kesehatan Mental, 1969
2) Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, 1970
3) Islam dan Kesehatan Mental, 1971
c. Penerbit YPI Ruhama1) Shalat Menjadikan Hidup Bermakna, 1988
2) Kebahagiaan, 1988
3) Haji Ibadah yang Unik, 1989
4) Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental, 1989
5) Do’a Menunjang Semangat Hidup, 1990
6) Zakat Pembersih Harta dan Jiwa, 1991
7) Remaja Harapan dan Tantangan, 1994
8) Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, 1994
9) Shalat untuk Anak-Anak, 1996
10) Puasa untuk Anak-Anak, 1996
d. Pustaka Antara1) Kesehatan, jilid I, II, III, 1971
2) Kesehatan (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan), jilid IV, 1974
3) Kesehatan Mental dalam Keluarga, 1996

e. Karangan Bersama1) Pelajaran Tafsir Al-Qur’an jilid I, II, III untuk Murid-Murid Madrasah Ibtidaiyyah bersama dengan H.M. Nur Asyik, MA (Bulan Bintang), 1968.
2) Pendidikan agama Islam untuk SD (6 jilid), bersama dengan Anwar Yasin, M,Ed, Prof. H. Boestami, Ismail Hamid, KH. Nasaruddin Latif, H. Nazar, H. Saaduddin Djambek, Syuaib Hasan. (Mutiara), 1974
3) Pendidikan Agama Islam untuk SMA (6 jilid), bersama Drs. M. Ali Hasan dan Drs. Paimun, (bulan Bintang), 1978.
4) Pendidikan Agama Islam untuk SPG (3 jilid), bersama Drs. M. Ali Hasan (Proyek Pengadaan Buku SPG-Depag. P&K), 1997.

f. Karangan Bersama Sebagai Tim Pengarang/Penyusun 1) Pendidikan Agama Islam untuk SD (6 jilid)
Sebagai penanggung jawab (Depag, RI), 1978
2) Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam (6 Jilid)
Sebagai penanggung jawab merangkap anggota (Depag, RI), 1978
3) Metode Khusus Pengajaran Agama Islam
Sebagai ketua merangkap anggota (Proyek Pembinaan PTA/ IAIN, 1980/ 1981
4) Metode Pendidikan Agama (C.V. Forum, 1981)
5) Ilmu Fiqih
Sebagai ketua merangkap anggota (Proyek pembinaan PTA/ IAIN), 1982
6) Pengantar Ilmu Fiqih II
Sebagai anggota tim penyusun
7) Buku Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam untuk SMA, 1978
Sebagai anggota tim penyusun
8) Buku (Naskah) PMP untuk SD, 1976
Sebagai anggota tim penyusun
9) Buku Pengajaran Agama Islam di Sekolah Dasar, 1967.
Sebagai ketua merangkap anggota tim penulis
10) Buku Pedoman Pelaksanaan P4 bagi Lembaga Pendidikan Agama Islam Tingkat Tinggi dan Atas, 1981
Sebagai tim penyusun naskah
11) Buku Perbandingan Agama, 1980
Sebagai ketua merangkap anggota tim penyusun naskah
12) Pedoman Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa, 1980.
Sebagai konsultan dan ketua tim editor
13) Bimbingan Praktis Agama Islam untuk OSIS,1980
14) Texs Book Methodik Khusus Pengajaran Agama ,1980.
Sebagai ketua merangkap anggota.
15) Penyusun Ensiklopedia Islam, 1979
Sebagai ketua, penyusun tim redaksi, editor.
16) Informasi tentang IAIN, 1782.
Sebagai ketua tim penyelenggara, penyusun, penilai.
17) Buku Statistik IAIN, 1982.
Pedoman umum/ Dasar kerja MPKM dan BPKM
18) Buku Teks Islam untuk Humaniora, 1981
Sebagai editor dan penyelenggara.
19) Buku Teks Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum dan sosial, 1981.
Sebagai editor dan penyelenggara
20) Buku Teks Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat, 1981
Sebagai editor dan penyelenggara.
21) Buku Teks Islam Untuk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 1981.
Sebagai editor dan penyelenggara
22) Buku Teks Islam untuk Disiplin Ilmu Sejarah, 1981.
Sebagai editor dan penyelenggara.
23) Buku Teks Islam untuk Disiplin Ilmu Kedokteran II, 1982.
Sebagai penanggung jawab
24) Buku Teks Islam Untuk Disiplin Ilmu Bahasa, 1982.
Sebaga penanggung jawab
25) Buku Teks Islam untuk Disiplin Ilmu Ekonomi, 1982
Sebagai penanggung jawab
26) Buku Teks Islam untuk Disiplin Ilmu Pertanian, 1982.
Sebagai penanggung jawab
27) Buku Teks Islam untuk Disiplin Ilmu Psikologi, 1982.
Sebagai tim penyusun
28) Perbandingan Agama II, 1982.
Sebagai ketua merangkap anggota
29) Ilmu Tasawuf, 1981.
Sebagai konsultan.



Istano Pagaruyuang: Wisata Sejarah Di Kabupaten Tanah Datar


Istano Pagaruyung terletak di Nagari Pagaruyung Kecamatan Tanjung Emas dengan jarak sekitar 5 kilometer dari Kota Batusangkar. Sementara dari ibukota propinsi Sumatera Barat berjarak sekitar 105 kilometer. Istano Pagaruyung merupakan objek wisata andalan Kabupaten Tanah Datar. Disamping itu, Istano Pagaruyung juga merupakan salah satu "icon" pariwisata Propinsi Sumatera Barat. Hampir setiap agen perjalanan yang ada di Propinsi Sumatera Barat selalu mencantumkannya dalam paket perjalanan yang mereka tawarkan. Bangunan Istana Pagaruyung ini berbentuk rumah adat minang atau yang sering dikenal dengan sebutan "rumah gadang" dengan ukuran yang sangat besar dan atapnya berbentuk tanduk kerbau yang melengkung meruncing keatas.

Bangunan ini terdiri atas 11 gonjong, 72 tonggak, dan 3 lantai. Eksterior dan interiornya dilengkapi dengan beragam ukiran yang tiap-tiap bentuk dan warna ukirannya mempunyai falsafah sejarah dan budaya Minangkabau. Sementara di ruang tengah dipamerkan berbagai benda bersejarah seperti keramik peninggalan kerajaan Pagaruyung dan berbagai benda kerajinan tangan dari Minang. Uniknya, semua tonggak yang menyangga bangunan ini dibuat miring yang tentunya agak bertentangan dengan teori arsitektur yang ada tapi tidak mengurangi kekokohan bangunan itu sendiri. Selain itu, di bagian halamannya, bangunan istana ini juga dilengkapi dengan bangunan surau, "rangkiang" (yang berfungsi sebagai tempat penyimpan hasil panen), serta "tabuah" (untuk memanggil warga).

Istano Pagaruyung ini sendiri merupakan replika dari bangunan Istano Rajo Alam Pagaruyung yang dibakar Belanda pada tahun 1804 dan dibangun kembali pada tahun 1976. Pada tanggal 27 Februari 2007, Istano Pagaruyung mengalami kebakaran akibat disambar petir dan saat ini masih dalam proses pembangunan kembali. Istana ini dilatarbelakangi oleh panorama Gunung Bungsu yang merupakan sarana wisata sangat cocok untuk camping dan hiking.




sumber

Pulau Cubadak: Tempat Rekreasi Pantai Yang Sepi Dari Turis Asing

Saat ke Sumatera Barat, jangan hanya datang ke Bukittinggi atau Pulau Mentawai. Cobalah sekali-kali singgah di Pulau Cubadak. Inilah pulau kecil dengan pasir putih dan pemandangan indah di Sumatera Barat.

Pulau Cubadak adalah salah satu pulau kecil di Sumatera Barat. Pulau ini terletak di Kecamatan Koto XI Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan. Pulau ini memiliki pasir halus dan air laut yang biru. Lebih asyik lagi, Pulau Cubadak sepi dari turis dalam dan luar negeri. Cocok untuk Anda yang ingin menenangkan diri.

Jika berminat datang, turis bisa menghubungi langsung resor yang ada di Pulau Cubadak. Nantinya, Anda akan dijemput langsung oleh pengelola pulau dari Pantai Carocok Tarusan.



sumber

Museum Adityawarman: Tempat Wisata Sejarah Di Kota Padang


Jika sedang mengunjungi Padang, Sumbar, datanglah ke Museum Adityawarman. Di tempat inilah Anda bisa mengenal tentang seluk beluk budaya Minangkabau hingga kehidupan masyarakat Minang dari dekat. Wisata edukasi yang seru!

Ada banyak baju adat, replika makanan, dan segala jenis hal-hal kebudayaan masyarakat Minang di Museum Adityawarman. Museum ini terletak di Jl Diponegoro No 10, Padang, Sumatera Barat. Dari luar, museum ini berbentuk rumah gadang yang berukuran raksasa.

Museum ini pun telah mencapai umur 35 tahun, tepatnya museum ini diresmikan pada tahun 1977. Meski sudah berumur, museum ini tetap berdiri gagah dan membuat siapapun tertarik untuk mengunjunginya. Museum ini buka setiap hari dengan harga tiket Rp 3.000 saja.

Ada banyak pengetahuan yang bisa Anda dapatkan saat memasuki museumnya. Tidak jauh dari pintu masuk, terdapat baju pengantin tradisional dan replika-replika makanan berupa ukiran kayu yang disuguhkan saat acara-acara besar. Uniknya, makanan dari tiap kabupaten atau wilayah pun berbeda. Penasaran?

Beranjak lebih ke dalam, Anda dapat mengenal sistem kekerabatan masyarakat Minang. Dalam sistem kekerabatnnya, masyarakat Minang memegang sistem matrilineal, yang mana garis keluarga pihak ibu memegang peranan penting dalam keluarga. Anda bisa mempelajarinya dari informasi yang tertera di dinding-dinding bangunanya.

Berbagai macam alat musik tradisonal dan hiasan pakaian khas Minang berjejer dengan penuh rapi dan dibingkai kaca. Beberapa macam alat musiknya adalah gendang, rebana, pupuik (semacam suling), gengong, dan masih banyak lagi. Perhiasan seperti mahkota dan kalung-kalung untuk para wanita Minang pun sungguh cantik.

Di lantai dasarnya, ada berbagai jenis peninggalan-peninggalan raja-raja Minang di masa lalu. Ada Al Quran, mata uang, hingga berbagai macam peralatan sehari-hari. penjelasan di dindingnya pun sangat lengkap. Ada juga miniatur rumah gadang yang memiliki bentuk beraneka ragam.

Kunjungan ke museum ini akan memberikan banyak pelajaran dan wawasan Anda tentang kebudayaan khas Minang.



sumber
 
Support : Copyright © 2012. Serba Minang - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger